BAHASA dan IDENTITAS

BAHASA dan IDENTITAS

Kata “Gue & loe” Bahasa Asli Betawi Yang Di gunakan Sebagai Bahasanya anak Gaul




Bahasa menunjukkan bangsa. Paling tidak itulah sebuah tamsil atau pepatah lama menyebutkannya. Lain dari pada itu, bahasa juga merupakan sebuah konvensi dari para penggunanya. Karena merupaka konvensi, bisa jadi bahasa pun digunakan oleh kelompok tertentu untuk memperlihatkan identitas mereka. Inilah saya, inilah kami, ketika sebuah pertanyaan muncul mengapa mereka menggunakan bahasa seperti itu.

Menarik untuk memperhatikan bahasa sebagai identitas kelompok. Karena dengan mendengar atau melihat slogan, kata atau istilah yang mereka pakai, secara cepat kita dapat mengetahui bahwa mereka adalah kelompok ini, atau mereka merupakan bagian dari kelompok itu. Dalam tulisan ini setidaknya ada beberapa kelompok yang menggunakan bahasa tertentu sebagai petanda bahwa mereka berasal dari kelompok yang memiliki sebuah ciri dan konvensi tersebut

Menurut Pendapat para ahli menyatakan, kunci suatu komunikasi yang baik adalah bahasa dan penyampaian bahasa itu sendiri. Begitu banyak bahasa di dunia ini, dan bagaimana selama ini bahasa itu bisa tercampur menjadi suatu komunikasi yang baik. Kita bisa berbicara dengan semua bahasa yang ada itu, tetapi kita tak mengetahui arti dan maknanya, tak ubahnya kita ibarat bertamu di rumah sendiri. Jadi meski kita berada di tempat sendiri namun merasa tidak mengetahui apa-apa. Semua bahasa yang ada di dunia ini mengalami perubahan dari satu bahasa satu ke bahasa yang lain

Seperti Bahasa gaul, bahasa ini baru muncul beberapa tahun terakhir. Sesudah reformasi (1998), digunakan untuk menyebut bahasa yang dipergunakan oleh anak-anak muda seperti yang biasa kita dengar di sinetron-sinetron atau dalam percakapan antar anak muda, atau ketika mereka diwawancara. Dalam bahasa gaul kita perhati-kan banyak sekali pengaruh bahasa Jakarta.

Kata ganti orang pertama dan kedua, menggunakan bahasa Cina yang sudah menjadi bahasa Jakarta yaitu gua (gue) dan lu (elo). Meskipun tidak banyak yang menggunakan bunyi "a" dengan "e" pada akhir kata seperti orang Betawi, tetapi perbendaharaan kata Jakarta banyak sekali digunakan. Begitu juga pembentukan kata jadian, sering mengikuti bahasa Jakarta, atau menggunakan akhiran "in" untuk akhiran "kan" dalam bahasa Indonesia baku. Kata "mencuri" jadi "nyu-ri", atau "maling", kata "bersembunyi" jadi "ngumpet", kata "mendekati" jadi "nyamperin", kata "memikirkan" menjadi "mikirin", dan semacamnya. Sebab, bahasa gaul baru muncul sejak kira-kira 1998, maka dalam ka-mus-kamus pun tidak tercantum sebagai entri. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI) susunan yang pertama kali terbit 1994, entri bahasa gaul tidak ada. Dalam Kamus Besar Bahasa In-donesia (KBBI) entri bahasa gaul baru tercantum dalam edisi keempat (2008). Dalam edisi sebelumnya belum ada.

Menurut KBBI edisi keempat itu, bahasa gaul artinya "dialek bahasa Indonesia nonformal yang digunakan oleh komunitas tertentu atau di daerah tertentu untuk pergaulan". Sementara "pergaulan" menurut KBBI itu, juga artinya "n 1 perihal bergaul; 2 kehidupan bermasyarakat; - memengaruhi kepribadian". Artinya, kalau keterangan tentang bahasa gaul itu disesuaikan dengan keterangan tentang arti "pergaulan", akan berbunyi "dialek bahasa Indonesia nonformal, yang digunakan oleh komunitas tertentu atau di daerah tertentu untuk perihal bergaul; atau untuk kehidupan bermasyarakat"

Misalnya saja kata “gue” dan “lo” sebagai pengganti “aku” dan “kamu” dalam percakapan sehari-hari. Sebenernya Kata Tersebut merupakan campuran atara bahasa betawi dan tionghoa, dlu orang Tionghoa dan Betawi hidup berdampingan secara damai. didalam pergaulannya ada beberapa kata yang kerap dipake juga oleh org betawi dan mengalami perubahan sedikit

Geu dari kata Wa, Elo dari kata lu, Engkong dr kong, Gopek dr gopak, Gepek dr cepak

Kata-kata tersebut dulu hanya digunakan oleh orang-orang betawi asli dan bukan dari suku lainnya. Namun sekarang kata tersebut merupakan bahasa yang digunakan oleh orang yang merasa gaul seperti halnya di daerah Jawa Timur khususnya daerah malang banyak orang-orang yang lebih sering menggunakan kata tersebut karna ingin dianggap sebagai anak gaul Ibukota. Rasanya aneh aja kalo misalnya harus mendengar seorang Jawa yang lidahnya masih medhok Jawa banget ngomong pake “gue” dan “lo” ketimbang “aku” karo “kowe” bahkan ketika sedang bercakap-cakap dengan sesama orang Jawa. memangnya kenapa kalo make bahasa daerah sendiri? Ada yang kurang? Apa kesannya ndeso? Apa takut dicap nggak gaul kalo pake bahasa daerahnya situ sendiri? Malah jadi keliatan gaul-wannabe kalo make bahasa dari daerah lain yang sedangkan mereka sendiri belum fasih menggunakan dialeknya. mereka malah macam anak muda kampungan yang lagi maksa kepengen punya taste ala ibukota.

Gaya bicara ibukota memang akhirnya jadi tren dan standar sebagai imbas dari keseragaman setting hiburan yang dikonsumsi sama konsumen-konsumennya yang lagi krisis identitas. Saking dianggapnya sebagai standar, beberapa karya hiburan yang lahir belakangan akhirnya jadi ikut-ikutan latah Akan tetapi, yang jelas kita alami sekarang bahwa bahasa gaul itu tidak hanya digunakan dalam kelompok tertentu atau di daerah tertentu. Dengan digunakannya dalam sine-tron-sinetron dan pada wawancara yang disiarkan oleh televisi secara nasional, maka bahasa gaul digunakan secara luas dalam masyarakat Menurut keterangan, BBC di London hanya menyiarkan bahasa Inggris baku, bahasa gaul seperti yang umpamanya terdengar dalam percakapan sehari-hari orang London sekalipun, tidak boleh disiarkan oleh BBC.

Akan tetapi, stasiun-stasiun televisi di Indonesia boleh menyiarkan bahasa gaul secara bebas, sehingga akan besar pengaruhnya kepada pemakaian bahasa sehari-hari masyarakat yang banyak mendengarkan siaran-siarannya. Bahasa gaul juga sekarang digunakan oleh para pemasang iklan.

Bahkan dalam radio-radio lokal mereka sering menggunakan basaha ini sebagai bahasa penyiaran. Efek dari keseragaman setting hiburan, mulai meracuni para remaja yang bukan ibukota. Mereka serasa belum keren kalo belum ngomong dengan bahasa penduduk ibukota. Bahasa simbah kakung dan simbah putrinya mulai terabaikan. Mereka seakan nggak bangga dengan identitas daerahnya sendiri yang justru memberikan diferensiasi, warna, dan keunikan tersendiri pada identitas pribadinya. Lucunya, saking pengennya dicap gaul ala ibukota, mereka nggak menyadari pantas-tidaknya mereka menggunakan bahasa yang dipikirnya bakal meningkatkan harkat, derajat, dan martabatnya itu. Lidah nggak fasih tapi maksa. Jadilah mereka kayak serombongan pemain dagelan.

Maka jangan salahkan bila sebagian orang menganggap manusia-manusia yang ber-lo-gue-lo-gue-an demi status gaul dan keren dengan mengorbankan identitas lokalnya adalah manusia yang murahan. Kecuali dalam perkara di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung, penggunaan lo-gue-lo-gue-an dengan logat Jawa yang masih medhok malah menunjukkan betapa kalian adalah korban mode picisan yang tidak punya identitas, keunikan, dan kelas tersendiri