Postmodernisme

Postmodernisme, pada hakikatnya, merupakan campuran dari beberapa atau seluruh pemaknaan hasil, akibat, perkembangan, penyangkalan, dan penolakan dari modernisme. Modernisme adalah suatu periode yang mengafirmasi keeksistensian dan kemungkinan mengetahui kebenaran dengan hanya menggunakan penalaran manusia. Oleh karena itu, dalam arti simbolik penalaran menggantikan posisi Tuhan, naturalisme menggantikan posisi supernatural.
Modernisme sebagai pengganti dinyatakan sebagai penemuan ilmiah, otonomim manusia, kemajuan linier, kebenaran mutlak (atau kemungkinan untuk mengetahui), dan rencana rasional dari social order Modernisme dimulai dengan rasa optimis yang tinggi. Sedangkan postmodernisme adalah sebuah reaksi melawan modernisme yang muncul sejak akhir abad 19. Dalam postmodernisme, pikiran digantikan oleh keinginan, penalaran digantikan oleh emosi, dan moralitas digantikan oleh relativisme. Kenyataan tidak lebih dari sebuah konstruk sosial; kebenaran sama dengan kekuatan atau kekuasaan.
Identitas diri muncul dari kelompok. Postmodernisme mempunyai karakteritik fragmentasi (terpecah-pecah menjadi lebih kecil), tidak menentukan, dan sebuah ketidakpercayaan terhadap semua hal universal dan struktur kekuatan. Postmodernisme adalah pandangan dunia yang menyangkal semua pandangan dunia. Singkatnya, postmodernisme mengatakan bahwa tidak ada kebenaran universal yang valid untuk setiap orang. Individu terkunci dalam persepktif terbatas oleh ras, gender, dan grup etnis masing-masing. Satu hal yang luput disadari terhadap postmodernisme adalah bahwa postmodernisme merupakan suatu gerakan kebudayaan dan sistem pengetahuan kebudayaan. Hal ini tidak lain disebabkan oleh karena tidak begitu diperhatikannya “konsep kebenaran” yang dimiliki postmodernisme.
Dari sisi yang sangat utama ini, terhadap modernisme, “konsep kebenaran” yang dimaksud selain telah meruntuhkan standar kebenaran satu-satunya yang dimiliki modernisme, juga telah menggantikan rasio, atau rasionalisme-empirisisme, atau saintisme, yang selama ini menjadi pusat realitas—pusat segala-galanya. “Konsep kebenaran” itu, di satu sisi, adalah kebudayaan itu sendiri karena yang menjadi ukuran kebenarannya adalah nilai-nilai yang berada di dalam konteks kebudayaan, atau kebudayaan tersebut sebagai nilai, dan di sisi lainnya, adalah pengetahuan kebudayan itu sebagai sistem pengetahuan dengan ukuran kebenaran yang sama, kebudayaan atau nilai. Sudah tentu “konsep kebenaran” tersebut tidak dalam pengertian monisme (ketunggalan) sebalik pluralisme (anekaragam)—misalnya, bahwa kebenaran tidak tunggal tetapi banyak, dan juga tidak sentral tetapi berada, seberanekaragam dan sebanyak aneka dan ragam ada dan berada-nya kebudayaan-kebudayaan (komunitas) itu sendiri.
Bahwa postmodernisme cenderung dipandang miring sebagai sesuatu yang “suka-suka”, “apa saja boleh”, “tidak ada aturan”, “destruktif”, “anarkis”, “radikal”, “tidak punya standar kebenaran”, “tidak punya nilai”, atau “hanya omong kosong” (Ritzer, 2003: 407), dan berbagai “kecenderungan skeptis” (Piliang, 2003: 267) lainnya, dengan demikian berarti tidak tepat sama sekali. Sebaliknya postmodernisme justru, tidak saja memiliki “konsep kebenaran”, dengan menempatkan nilai sebagai ukuran kebenaran (dalam posisi dan pengertian yang plural), tetapi yang lebih penting adalah meng-ada-kan dan mem-berada-kan seluruh dan beranekaragam kebenaran-kebenaran yang ada, setelah membelanya di hadapan kebenaran rasio sebagai “suatu keangkuhan kebenaran” selama ini—dengan sekaligus menurunkannya ke posisi yang sejajar bersama alat-alat ukur kebenaran yang lain.
Postmodernisme akan lebih mudah dipahami dengan terlebih dulu memandangnya sebagai suatu reaksi terhadap modernisme sebagai bagian dari reaksi tersebut, modernisme dipandang:
(a) merupakan upaya manusia menjadi subjek melalui penyingkiran Subjek (Tuhan). Dalam hal ini, modernisme merupakan upaya manusia menjadi: subjek yang berkuasa dan otonom, dan subjek yang berkebasan mutlak dan individual;
(b) modernisme sekaligus merupakan upaya penggantian Standar Kebenaran, Logos (Tuhan) dengan rasio, rasionalisme (sains), sebagai standar kebenaran (logos), dan;
(c) modernisme merupakan upaya mengobjektitaskan (menjadikan sebagai objek) dan sekaligus merasionalitaskan dunia (menjadikan dunia sebagai “dunia akal”).
Sejumlah pandangan di atas sekaligus merupakan kritik postmodernisme sebagai upaya mengungkap kepalsuan-kepalsuan modernisme. Atas dasar kritik demikian kemudian postmodernisme menolak modernisme. Kritik postmodernisme yang sekaligus merupakan landasan penolakan terhadap modernisme,
Sebagaimana konsep realitas oleh modernisme. Bagi postmodernisme, konsep realitas modernisme hanya ilusi, palsu (realitas objektif palsu), sengaja memalsukan realitas yang sesungguhnya menjadi realitas rasionalisasi, narasi (metanarasi) oleh karena sama sekali tidak ada realitas yang demikian kecuali hanya di dalam rasio atau pikiran manusia semata. Sebaliknya, realitas bagi postmodernisme tidak lain adalah realitas yang diciptakan, diwujudkan, tepatnya diciptakan atau diwujudkan oleh bahasa. Bahasalah yang telah menciptakan dan membuatnya menjadi realitas mewujukan menjadi realitas dan sekaligus secara terus-menerus memberadakannya sebagai proses penciptaan realitas. Realitas ciptaan tersebut sesungguhnya merupakan suatu fakta, fakta ciptaan, fakta sosial.
Postmodernisme memandang manusia sebagai diri yang di-ada-kan, yang di-berada-kan, yang diciptakan melalui dan sekaligus oleh jaringan sosial, kehidupan sosial—yang diwujudkan oleh dan sekaligus merupakan proses bahasa. Dalam hal ini, postmodernisme memang memandang kehidupan sosial lebih dulu muncul sementara manusia seolah-olah menyusul setelahnya. Pandangan demikian disebabkan pandangan postmodernisme yang melihat realitas sebagai fakta (fakta sosial bahasa), yang oleh karenanya hanya “realitas dengan kehidupan sosial yang lebih dulu muncul sementara manusia datang menyusul” itulah yang dapat diterima sebagai fakta; dapat diterima sebagai fakta yang memiliki sekaligus melalui alasan-alasan atau dasar-dasar landasan faktualnya yakni sebagai ciptaan bahasa
Maka, sesuai dengan konsep-konsep filosofis tentang “apa” (“onto”), “bagaimana” (“epistema”), dan “untuk manfaat dan kegunaan apa dan bagaimana” (“aksio”) yang dimiliki postmodernisme di atas, sebagai sistem pengetahuan, postmodernisme tidak lain merupakan sistem pengetahuan kebudayaan (kulturalisme, culturalism) sekaligus pengkajian kebudayaan (cultural studies)
KRITIK TERHADAP POSTMODERNISME
Menurut Magnis Suseno setidaknya ada tiga kelemahan “postmodernisme”, yaitu:
1) “Postmodernisme” buta terhadap kenyataan bahwa banyak cerita kecil menggandung banyak kebusukan.
2) “Postmodernisme” tidak membedakan antara ideologi, disatu pihak; dan prinsip-prinsip universal etika terbuka, dilain pihak.
3) Kebutaan ketiga “Postmodernisme” adalah bahwa tuntutan untuk menyingkirkan cerita-cerita besar demi cerita-cerita kecil sendiri merupakan cerita besar dengan klaim universal.
Sedang menurut Ariel Heryanto[8] (dikutip dari seminar “Pascamodernisme :Relevansinya Bagi Hak-Hak Asasi Manusia Indonesia Mutakhir” di Salatiga, 8-9 Oktober 1993. mengatakan bahwa : cukup banyak pendapat bahwa postmodernisme tidak perlu diperhatikan karena dianggap tidak ada yang baru darinya. Ada dua alasan yang sering dikemukakan. Postmodernisme dianggap sama dengan relativisme atau sekedar “metode kritik” yang sudah dikerjakan hampir semua isme lainnya. Bagi pihak lain postmodernisme dianggap sudah lama hadir dalam kehidupan sehari-hari, dianggap terlalu biasa dan tak pantas mendapatkan perhatian khusus.
Postmodernisme juga diserang karena dua alasan lain yang saling bertolak-belakang. Disatu pihak ia dianggap berbahaya, karena dituduh bersikap terlalu luwes, penganjur “re;ativisme” yang ekstrem, terlalu permisif, membiarkan dan membenarkan apa saja, tanpa batas. Postmodernisme dianggap mengobarkan semangat anything goes (“apa pun saja boleh”). Dipihak lain postmodernisme diserang, kadang-kadang oleh pengkritik yang sama, justru karena dianggap bersikap terlalu sempit.