Pengertian Kecerdasan Spiritual

PENGERTIAN KECERDASAN SPIRITUAL

Menurut Munandir ( 2001 : 122 ) kecerdasan spritual tersusun dalam dua kata yaitu “kecerdasan” dan “spiritual”. Kecerdasan adalah kemampuan seseorang untuk memecahkan masalah yang dihadapinya, terutama masalah yang menuntut kemampuan fikiran. Berbagai batasan-batasan yang dikemukakan oleh para ahli didasarkan pada teorinya masing - masing. Selanjutnya Munandir menyebutkan bahwa Intelegence dapat pula diartikan sebagai kemampuan yang berhubungan dengan abstraksi - abstraksi, kemampuan mempelajari sesuatu, kemampuan menangani situasi - situasi baru.

Sementara itu Mimi Doe dan Marsha Walch mengungkapkan bahwa spiritual adalah dasar bagi tumbuhnya harga diri, nilai - nilai, moral, dan rasa memiliki. Ia memberi arah dan arti bagi kehidupan kita tentang kepercayaan mengenai adanya kekuatan non fisik yang lebih besar dari pada kekuatan diri kita; Suatu kesadaran yang menghubungkan kita langsung dengan Tuhan, atau apa pun yang kita namakan sebagai sumber keberadaan kita. Spiritual juga berarti kejiwaan, rohani, batin, mental, moral.

Jadi berdasarkan arti dari dua kata tersebut kerdasan spiritual dapat diartikan sebagai kemampuan seseorang untuk menghadapi dan memecahkan masalah yang berhubungan dengan nilai, batin, dan kejiwaan. Kecerdasan ini terutama berkaitan dengan abstraksi pada suatu hal di luar kekuatan manusia yaitu kekuatan penggerak kehidupan dan semesta.

Menurut Tony Buzan kecerdasan spiritual adalah yang berkaitan dengan menjadi bagian dari rancangan segala sesuatu yang lebih besar, meliputi “melihat suatu gambaran secara menyeluruh”. Sementara itu, kecerdasan spiritual menurut Stephen R. Covey adalah pusat paling mendasar di antara kecerdasan yang lain, karena dia menjadi sumber bimbingan bagi kecerdasan lainnya. Kecerdasan spiritual mewakili kerinduan akan makna dan hubungan dengan yang tak terbatas.

Zohar dan Marshal mendefinisikan kecerdasan spiritual sebagai kecerdasan untuk menghadapi dan memecahkan persoalan makna dan nilai, yaitu kecerdasan untuk menempatkan perilaku dan hidup dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya, kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna dari pada yang lain. Kecerdasan spiritual menurut Khalil A Khavari di definisikan sebagai fakultas dimensi non-material kita atau jiwa manusia. Ia menyebutnya sebagai intan yang belum terasah dan dimiliki oleh setiap insan. Kita harus mengenali seperti adanya, menggosoknya sehingga mengkilap dengan tekat yang besar, menggunakannya menuju kearifan, dan untuk mencapai kebahagiaan yang abadi.

Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa definisi "Kecerdasan Spiritual adalah kemampuan potensial setiap manusia yang menjadikan ia dapat menyadari dan menentukan makna, nilai, moral, serta cinta terhadap kekuatan yang lebih besar dan sesama makhluk hidup, karena merasa sebagai bagian dari keseluruhan". Sehingga membuat manusia dapat menempatkan diri dan hidup lebih positif dengan penuh kebijaksanaan, kedamaian, dan kebahagiaan yang hakiki.


DAFTAR PUSTAKA
  • http://ilmupsikologi.wordpress.com/2010/02/18/pengertian-kecerdasan-spritual/

Ciri - ciri Kecerdasan Spiritual

CIRI - CIRI KECERDASAN SPIRITUAL

Mahayana menyebutkan beberapa ciri orang yang mempunyai kecerdasan spritual yang tinggi, antara lain :

1. Memiliki prinsip dan visi yang kuat

Prinsip adalah kebenaran yang dalam dan mendasar ia sebagai pedoman berperilaku yang mempunyai nilai yang langgeng dan produktif. Prinsip manusia secara jelas tidak akan berubah, yang berubah adalah cara kita mengerti dan melihat prinsip tersebut. Semakin banyak kita tahu mengenai prinsip yang benar semakin besar kebebasan pribadi kita untuk bertindak dengan bijaksana.

Paradigma adalah sumber dari semua tingkah laku dan sikap, dengan menempatkan kita pada prinsip yang benar dan mendasar maka kita juga menciptakan peta atau paradigma mendasar mengenai hidup yang benar, dan pada ujung - ujungnya adalah hidup yang efektif.

2. Kesatuan dan keragaman

Seorang dengan spiritualitas yang tinggi mampu melihat ketunggalan dalam keragaman. Ia adalah prinsip yang mendasari SQ, sebagaimana Tony Buzan dan Zohar menjelaskan pada pemaparan yang telah disebutkan diatas. Tony Buzan mengatakan bahwa “kecerdasan spiritual meliputi melihat gambaran yang menyeluruh, ia termotivasi oleh nilai pribadi yang mencangkup usaha menjangkau sesuatu selain kepentingan pribadi demi kepentingan masyarakat”.

3. Memaknai

Makna bersifat substansial, berdimensi spiritual. Makna adalah penentu identitas sesuatu yang paling signifikan. Seorang yang memiliki SQ tinggi akan mampu memaknai atau menemukan makna terdalam dari segala sisi kehidupan, baik karunia Tuhan yang berupa kenikmatan atau ujian dari-Nya, ia juga merupakan manifestasi kasih sayang dari-Nya. Ujiannya hanyalah wahana pendewasaan spiritual manusia.

Mengenai hal ini Covey meneguhkan tentang pemaknaan dan respon kita terhadap hidup. Ia mengatakan ”cobalah untuk mengajukan pertanyaan terhadap diri sendiri: Apa yang dituntut situasi hidup saya saat ini; yang yang harus saya lakukan dalam tanggung jawab saya, tugas-tugas saya saai ini; langkah bijaksana yang akan saya ambil?”. Jika kita hidup dengan menjalani hati nurani kita yang berbisik mengenai jawaban atas pertanyaan kita diatas maka, “ruang antara stimulus dan respon menjadi semakin besardan nurani akan makin terdengar jelas”.

4. Kesulitan dan penderitaan

Pelajaran yang paling berarti dalam kehidupan manusia adalah pada waktu ia sadar bahwa itu adalah bagian penting dari substansi yang akan mengisi dan mendewasakan sehingga ia menjadi lebih matang, kuat, dan lebih siap menjalani kehidupan yang penuh rintangan dan penderitaan. Pelajaran tersebut akan menguhkan pribadinya setelah ia dapat menjalani dan berhasil untuk mendapatkan apa maksud terdalam dari pelajaran tadi. Kesulitan akan mengasah menumbuh kembangkan, hingga pada proses pematangan dimensi spiritual manusia. SQ mampu mentransformasikan kesulitan menjadi suatu medan penyempurnaan dan pendidikan spiritual yang bermakna. SQ yang tinggi mampu memajukan seseorang karena pelajaran dari kesulitan dan kepekaan terhadap hati nuraninya.

Menurut Khavari terdapat tiga bagian yang dapat kita lihat untuk menguji tingkat kecerdasan spritual seseorang, seperti :

a. Dari sudut pandang spiritual keagamaan (relasi vertikal, hubungan dengan yang Maha Kuasa). 
  • Sudut pandang ini akan melihat sejauh manakah tingkat relasi spritual kita dengan Sang Pencipta, Hal ini dapat diukur dari “segi komunikasi dan intensitas spritual individu dengan Tuhannya”. Menifestasinya dapat terlihat dari pada frekwensi do’a, makhluq spritual, kecintaan kepada Tuhan yang bersemayam dalam hati, dan rasa syukur kehadirat-Nya. Khavari lebih menekankan segi ini untuk melakukan pengukuran tingkat kecerdasan spritual, karena ”apabila keharmonisan hubungan dan relasi spritual keagamaan seseorang semakin tinggi maka semakin tinggi pula tingkat kualitas kecerdasan spritualnya”.
b. Dari sudut pandang relasi sosial keagamaan. 
  • Sudut pandang ini melihat konsekwensi psikologis spritual-keagamaan terhadap sikap sosial yang menekankan segi kebersamaan dan kesejahteraan sosial. Kecerdasan spiritual akan tercermin pada ikatan kekeluargaan antar sesama, peka terhadap kesejahteraan orang lain dan makhluk hidup lain, bersikap dermawan. Perilaku marupakan manifestasi dari keadaan jiwa, maka kecerdasan spritual yang ada dalam diri individu akan termanifestasi dalam perilakunya. Dalam hal ini SQ akan termanifestasi dalam sikap sosial. Jadi kecerdasan ini tidak hanya berurusan dengan ke-Tuhanan atau masalah spiritual, namun akan mempengaruhi pada aspek yang lebih luas terutama hubungan antar manusia.
c. Dari sudut pandang etika sosial. 
  • Sudut pandang ini dapat menggambarkan tingkat etika sosial sebagai manifestasi dari kualitas kecerdasan spiritual. Semakin tinggi tingkat kecerdasan spritualnya semakin tinggi pula etika sosialnya. Hal ini tercermin dari ketaatan seseorang pada etika dan moral, jujur, dapat dipercaya, sopan, toleran, dan anti terhadap kekerasan. Dengan kecerdasan spritual maka individu dapat menghayati arti dari pentingnya sopan santun, toleran, dan beradap dalam hidup. Hal ini menjadi panggilan intrinsik dalam etika sosial, karena sepenuhnya kita sadar bahwa ada makna simbolik kehadiran Tuhan dalam kehidupan sehari-hari yang selalu mengawasi atau melihat kita di dalam diri kita maupun gerak-gerik kita, dimana pun dan kapan pun, apa lagi kaum beragama, inti dari agama adalah moral dan etika.

DAFTAR PUSTAKA
  • http://ilmupsikologi.wordpress.com/2010/02/18/ciri-kecerdasan-spritual/

Pemikiran Muhammad Iqbal

PEMIKIRAN MUHAMMAD IQBAL 
TENTANG SUMBER HUKUM ISLAM

A. Al - Qur,an

Sebagai seorang Islam yang di didik dengan cara kesufian, Iqbal percaya kalau al-Qur’an itu memang benar diturunkan oleh Allah kepada - Nabi Muhammad dengan perantara Malaikat Jibril dengan sebenar-benar percaya, kedudukannya adalah sebagai sumber hukum yang utama dengan pernyataannya “The Qur’an is a book which emphazhise ‘deed’ rather than ‘idea’ “ ( al Qur’an adalah kitab yang lebih mengutamakan amal daripada cita - cita ).

Namun demikian dia menyatakan bahwa bukanlah al-Qur’an itu suatu undang-undang. Dia dapat berkembang sesuai dengan perubahan zaman, pintu ijtihad tidak pernah tertutup. Tujuan sebenarnya al Qur’an adalah membangkitkan kesadaran manusia yang lebih tinggi dalam hubungannya dengan Tuhan dan alam semesta, Qaur’an tidak memuatnya secara detail maka manusialah dituntut pengembangannya.Ini didalam rumusan fiqh dikembangkan dalam prinsip ijtihad, oleh iqbal disebut prinsip gerak dalam struktur Islam.

Disamping itu al-Qur’an memandang bahwa kehidupan adalah satu proses cipta yang kreatif dan progresif. Oleh karenanya, walaupun al-Qur’an tidak melarang untuk mempertimbangkan karya besar ulama terdahulu, namun masyarakat juga harus berani mencari rumusan baru secara kreatif dan inovatif untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang mereka hadapi. “ Akibat pemahaman yang kaku terhadap pendapat ulama terdahulu, maka ketika masyarakat bergerak maju, hukum tetap berjalan di tempatnya”.

Akan tetapi, kendatipun Iqbal sangat menghargai perubahan dan penalaran ilmiah dalam memahami al Qur’an, namun dia melihat ada dimensi-dimensi didalam al Qur’an yang sudah merupakan ketentuan yang baku dan tidak dapat dirubah serta harus dikonservasikan, sebab ketentuan itu berlaku konstan. Menurutnya para mullah dan sufi telah membawa umat Islam jauh dari maksud al Qur’an sebenarnya. Pendekatan mereka tentang hidup menjadi negatif dan fatalis. Iqbal mengeluh ketidakmampuan umat Islam India dalam mamahami - al -Qur’an disebabkan ketidakmampuan terhadap memahami bahasa Arab dan telah salah impor ide-ide India ( Hindu ) dan Yunani ke dalam Islam dan al-Qur’an. Dia begitu terobsesi untuk menyadarkan umat islam untuk lebih progresif dan dinamis dari keadaan statis dan stagnan dalam menjalani kehidupan duniawi. Karena berdasarkan pengalaman, agama Yahudi dan Kristen telah gagal menuntun umat manusia menjalani kehidupan.

Kegagalan Yahudi disebabkan terlalu mementingkan segi-segi legalita dan kehidupan duniawi. Sedangkan Kristen gagal dalam memberikan nilai-nilai kepada pemeliharaan negara, undang-undang dan organisasi, karena lebih mementingkan segi-segi ritual dan spritual saja. Dalam kegagalan kedua agama tersebut al-Qur’an berada ditengah-tengah dan sama-sama mementingkan kehidupan individual dan sosial ;ritual dan moral. Al-Qur’an mengajarkan keseimbangan kedua sisi kehidupan tersebut, tanpa membeda-bedakannya. Baginya antara politik pemerintahan dan agama tidak ada pemisahan sama sekali, inilah yang dikembangkannya dalam merumuskan ide berdirinya negara Pakistan yang memisahkan diri dari India yang mayoritas Hindu.

Pandangan Iqbal tentang kehidupan yang equilbirium antara moral dan agama ; etik dan politik ; ritual dan duniawi, sebenarnya bukanlah hal yang baru dalam pemikiran Islam. Namun, dalam perjalanan sejarah, pemikiran demikian terkubur bersama arus kehidupan politik umat Islam yang semakin memburuk, terutama sejak keruntuhan dan kehancuran Bagdad, 1258. sehingga masyarakat Islam tidak mampu lagi menangkap visi dinamis dalam doktrin Islam ( al-Qur’an ).

Akhirnya walaupun tidak ditegaskan kedalam konsep oleh para mullah lahirlah pandangan pemisahan antara kehidupan dunia dan agama yang menyeret umat untuk meninggalkan kehidupan duniawi, akibatnya, hukum pun menjadi statis dan al-Qur’an tidak mampu di jadikan sebagai referensi utama dalam hal menjawab setiap problematika.

Inilah yang terjadi dalam lingkungan sosial politik umat Islam. Oleh sebab itu, Iqbal ingin menggerakkan umat Islam untuk kreatif dan dinamis dalam menghadapi hidup dan menciptakan perubahan-perubahan dibawah tuntunan ajaran al-Qur’an. Nilai - nilai dasar ajaran al-Qur’an harus dapat dikembangkan dan digali secara serius untuk dijadikan pedoman dalam menciptakan perubahan itu. Kuncinya adalah dengan mengadakan pendekatan rasional al-Qur’an dan mendalami semangat yang terkandung didalamnya, bukan menjadikannya sebagai buku Undang - undang yang berisi kumpulan peraturan-peraturan yang mati dan kaku.

Akan tetapi, kendatipun Iqbal sangat menghargai perubahan dan penalaran ilmiah dalam memahami al-Qur’an, namun ia melihat ada dimensi-dimensi didalam al-Qur’an yang sudah merupakan ketentuan yang baku dan tidak dapat dirubah serta harus di konservasikan ( pertahankan), sebab ketentuan itu berlaku konstan.

B. Al - Hadist

Sejak dulu hadist memang selalu menjadi bahan yang menarik untuk dikaji. Baik umat Islam maupun kalangan orientalis. Tentu saja maksud dan titik berangkat dari kajian tersebut berbeda pula. Umat Islam didasarkan pada rasa tanggung jawab yang begitu besar terhadap ajaran Islam. Sedangkan orientalis mengkajinya hanya untuk kepentingan ilmiah. Bahkan terkadang hanya untuk mencari kelemahan ajaran Islam itu lewat ajaran Islam itu sendiri.

Kalangan orientalis yang pertama kali melakukan studi tentang hadist adalah Ignaz Goldziher. Menurutnya sejak masa awal Islam dam masa-masa berikutnya , mengalami proses evolusi, mulai dari sahabat dan seterusnya hingga menjadi berkembang di mazhab-mazhab fiqih. Iqbal menyimpulkan bahwa dia tidak percaya pada seluruh hadist koleksi para ahli hadist.

Iqbal setuju dengan pendapat Syah Waliyullah tentang hadist, yaitu cara Nabi dalam menyampaikan Da’wah Islamiyah adalah memperhatikan kebiasaan, cara-cara dan keganjilan yang dihadapinya ketika itu. Selain itu juga Nabi sangat memperhatikan sekali adat istiadat penduduk setempat. Dalam penyampaiannya Nabi lebih menekankan pada prinsip-prinsip dasar kehidupan sosial bagi seluruh umat manusia, tanpa terikat oleh ruang dan waktu. Jadi peraturan - peraturan tersebut khusus untuk umat yang dihadapi Nabi. Untuk generasi selanjutnya, pelaksanaannya mengacu pada prinsip kemaslahatan.

Dari pandangan ini Iqbal menganggap wajar saja kalau Abu hanifah lebih banyak mempergunakan konsep istihsan dari pada hadist yang masih meragukan kualitasnya. Ini bukan berarti hadist-hadist pada zamannya belum dikumpulkan, karena Abdul Malik dan Al Zuhri telah membuat koleksi hadist tiga puluh tahun sebelum Abu Hanifah wafat. Sikap ini diambil Abu Hanifah karena ia memandang tujuan - tujuan universal hadist daripada koleksi belaka.

Oleh karenanya, Iqbal memandang perlu umat Islam melakukan studi mendalam terhadap literatur hadist dengan berpedoman langsung kepada Nabi sendiri selaku orang yang mempunyai otoritas untuk menafsirkan wahyu-Nya. Hal ini sangat besar faedahnya dalam memahami nilai hidup dari prinsip-prinsip hukum Islam sebagaimana yang dikemukakan al-Qur’an.

Pandangan Iqbal tentang pembedaan hadist hukum dan hadist bukan hukum agaknya sejalan dengan pemikiran ahli ushul yang mengatakan bahwa hadist adalah penuturan, perbuatan dan ketetapan Nabi saw.yang berkaitan dengan hukum; seperti mengenai kebiasaan-kebiasaan Nabi yang bersifat khusus untuknya, tidak wajib diikuti dan diamalkan.


C. Ijtihad

Katanya “exert with a view to form an independent judgement on legal question”, ( bersungguh - sungguh dalam membentuk suatu keputusan yang bebas untuk menjawab permasalahan hukum ). Kalau dipandang baik hadist maupun al-Qur’an mamang ada rekomendasi tentang ijtihad tersebut, disamping ijtihad pribadi, hukum Islam juga memberi rekomendasi keberlakuan ijtihad kolektif. Ijtihad inilah yang selama berabad - abad dikembangkan dan dimodifikasi oleh para ahli hukum Islam dalam mengantisipasi setiap permasalahan masyarakat yang muncul, sehingga melahirkan aneka ragam pendapat ( mazdhab ).

Sebagaimana pandangan mayoritas ulama, Iqbal membagi kualifikasi ijtihad kedalam tiga tingkatan, yaitu :
  • Otoritas penuh dalam menentukan perundang - undangan yang secara praktis hanya terbatas pada pendiri madzhab-madzhab saja.
  • Otoritas relatif yang hanya dilakukan dalam batas - batas tertentu dari satu madzhab.
  • Otoritas Khusus yang berhubungan dengan penetapan hukum dalam kasus - kasus tertentu, dengan tidak terikat pada ketentuan - ketentuan pendiri madzdab.
Namun Iqbal lebih memberi perhatian pada derajat yang pertama saja. Menurut Iqbal, kemungkinan derajat ijtihad ini memang disepakati diterima oleh ulama ahl- al- sunnah, tetapi dalam kenyataannya telah dipungkiri sendiri sejak berdirinya madzhab-madzhab. Ide ijtihad ini dipagar dengan persyaratan ketat yang hampir tidak mungkin dipenuhi. Sikap ini, lanjut Iqbal, adalah sangat ganjil dalam satu sistem hukum al Qur’an yang sangat menghargai pandangan dinamis.

Akibat ketatnya ketentuan ijtihad ini, akhirnya hukum Islam selama lima ratus tahun mengalami stagnasi dan tidak mampu berkembang. Ijtihad yang menjadi konsep dinamis hukum Islam hanya tinggal sebuah teori-teori mati yang tidak berfungsi dan menjadi kajian-kajian masa lalu saja. Demikian juga ijma’ hanya menjadi mimpi untuk mengumpulkan para ulama, apalagi dalam konsepnya satu saja ulama yang tidak setuju maka batallah keberlakuan ijma’ tersebut, hal ini dikarenakan kondisi semakin meluasnya daerah Islam.
Akhirnya kedua konsep ini hanya tinggal teori saja, konskuensinya, hukum Islam pun statis tak berkembang selama beberapa abad.

Iqbal mendeteksi penyebab kemunduran Islam itu ada tiga faktor, antara lain :
  • Gerakan rasionalisme yang liar, dituduh sebagai penyebab disintegarasi umat Islam dengan melempar isu keabadian al-Qur’an.Oleh karena itu, kaum konservatif hanya memilih tempat yang aman dengan bertaklid kepada imam - imam mazhab. Dan sebagai alat yang ampuh untuk membuat umat tunduk dan diam. Disamping itu, perkembangan ini melahirkan fenomena baru, yaitu lahirnya kecendrungan menghindari duniawi dan mementingkan akhirat dan menjadi apatis. Akhirnya Islam menjadi lemah tak berdaya.
  • Setelah Islam menjadi lemah penderitaan terus berlanjut pada tahun 1258 H kota pusat peradaban Islam diserang dan diporak - porandakan tentara mongol pimpinan Hulagu Khan.
  • Sejak itulah lalu timbul disintegrasi. Karena takut disintegrasi itu akan menguak lebih jauh, lalu kaum konsrvatif Islam memusatkan usaha untuk menyeragamkan pola kehidupan sosial dengan mengeluarkan bid’ah - bid’ah dam menutup pintu ijtihad. Ironisnya ini semakin memperparah keadaan dalam dunia Islam.
Bagi Iqbal untuk membuang kekakuan ini hanya dengan jalan menggalakkan kembali ijtihad - ijma’ dan merumuskannya sesuai dengan kebutuhan zaman modern saat sekarang. Namun demikian, rumusan ijtihad juga harus tetap mengacu kepada kepentingan masyarakat dan kemjuan umum. Bukan berdasarkan pemikiran - pemikiran spekulatif subjektif yang bertentangan dengan semangat dan nilai dasar hukum Islam.

Oleh karenanya Iqbal memandang perlu mengalihkan kekuasaan ijtihad secara pribadi menjadi ijtihad kolektif atau ijma’. Pada zaman modern, menurut Iqbal, peralihan kekuasaan ijtihad individu yang mewakili madzhab tertentu kepada lembaga legislatif Islam adalah satu - satunya bentuk paling tepat bagi ijma’. Hanya cara inilah yang dapat menggerakkan spirit dalam sistem hukum Islam yang selama ini telah hilang dari dalam tubuh umat Islam.


DAFTAR PUSTAKA
  • http://udhiexz.wordpress.com/2008/04/13/pemikiran-muhammad-iqbal/

Riwayat Hidup Muhammad Iqbal

RIWAYAT HIDUP MUHAMMAD IQBAL

A. Kehidupan Pribadi dan Keluarganya

Dr. Sir Muhammad Iqbal. Ia adalah setitik zarah di lautan semesta yang jiwanya senantiasa dalam keadaan resah. Jutaan manusia pelbagai bangsa pernah turut menyaksikan keresahannya di dalam ribuan bait syair yang ia tulis. Sosoknya memang fenomenal, lebih dari siapa pun, Iqbal telah merekonstruksi sebuah bangunan filsafat Islam yang dapat menjadi bekal individu - individu Muslim dalam mengantisipasi peradaban Barat yang materialistik ataupun tradisi Timur yang fatalistik. Jika diterapkan maka konsep - konsep filosofis Iqbal akan memiliki implikasi - implikasi kemanusiaan dan sosial yang luas.

B. Pendidikan dan Karir Pekerjaannya

Ia lahir di sebuah kota bernama Sialkot, sebuah kota peninggalan Dinasti Mughal India pada tanggal 22 Februari 1873. Ayahandanya Syaikh Nur Muhammad memiliki kedekatan dengan kalangan Sufi. Karena kesalehan dan kecerdasannya, penjahit yang cukup berhasil ini dikenal memiliki perasaan mistis yang dalam serta rasa keingintahuan ilmiah yang tinggi. Tak heran, jika Nur Muhammad dijuluki kawan-kawannya dengan sebutan "Sang Filosof tanpa guru" ( un parh falsafi ). 

Ibunda Iqbal, Imam Bibi, juga dikenal sangat relegius. Ia membekali kelima anaknya, tiga putri dan dua putra, dengan pendidikan dasar dan disiplin keislaman yang kuat. Di bawah bimbingan kedua orangtuanya yang taat inilah Iqbal tumbuh dan dibesarkan. Kelak di kemudian hari, Iqbal sering berkata bahwa pandangan dunianya tidaklah dibangun melalui spekulasi filosofis, tetapi diwarisi dari kedua orangtuanya tersebut.

Pada tahun 1895 ia pergi ke Lahore, salah satu kota di India yang menjadi pusat kebudayaan, pengetahuan dan seni. Di kota ini ia bergabung dengan perhimpunan sastrawan yang sering diundang musyara'ah, yakni pertemuan - pertemuan di mana para penyair membacakan sajak - sajaknya. Ini merupakan tradisi yang masih berkembang di Pakistan dan India hingga kini. Di kota Lahore ini, sambil melanjutkan pendidikan sarjananya ia mengajar filsafat di Government College. Pada tahun 1897 Iqbal memperoleh gelar B.A., kemudian ia mengambil program M.A. dalam bidang filsafat. Pada saat itulah ia bertemu dengan Sir Thomas Arnold orientalis Inggris yang terkenal yang mengajarkan filsafat Islam di College tersebut. Antara keduanya terjalin kedekatan melebihi hubungan guru dan murid, sebagaimana tertuang dalam sajaknya Bang-I Dara.

Dengan dorongan dan dukungan dari Arnold, Iqbal menjadi terkenal sebagai salah satu pengajar yang berbakat dan penyair di Lahore. Sajak-sajaknya banyak diminati orang. Pada tahun 1905, ia belajar di Cambridge pada R.A. Nicholson, seorang spesialis dalam sufisme, dan seorang Neo-Hegelian, yaitu Jhon M.E.McTaggart. Iqbal kemudian belajar di Heidilberg dan Munich. Di Munich ia menyelesaikan doktornya pada tahun 1908 dengan disertasi, The Development of Metaphysics in Persia.( disertasi ini kemudian diterbitkan di London dalam bentuk buku, dan dihadiahkan Iqbal kepada gurunya, Sir Thomas Arnold ). 

Setelah mendapatkan gelar doktor, ia kembali ke London untuk belajar di bidang keadvokatan sambil mengajar bahasa dan kesusastraan Arab di Universitas London. Selama di Eropa Iqbal tidak pernah bosan menemui para ilmuwan untuk mengadakan berbagai perbincangan tentang persoalan-persoalan keilmuan dan kefilsafatan. Ia juga memperbincangkan Islam dan peradabannya. Di samping itu Iqbal memberikan ceramah dan berbagai kesempatan tentang Islam. Isi ceramahnya tersebut dipublikasikan dalam berbagai penerbitan surat kabar. Ternyata setelah menyaksikan langsung dan mengkaji kebudayaan Barat, ia tidak terpesona oleh gemerlapan dan daya pikat kebudayaan tersebut. Iqbal tetap concern pada budaya dan kepercayaannya.

C. Karya - karya Muhammad Iqbal
  1. Asrar-i Khudi (Rahasia Pribadi), (1915)
  2. Bang-i Dara (Seruan dari Perjalanan), (1924)
  3. The Recunstruction of Relegious Thought in Islam, (1930)
  4. Payam-i Masyriq (Pesan dari Timur), (1923)
  5. dll.

DAFTAR PUSTAKA
  • http://untunx83.multiply.com/journal/item/67/Biografi_Muhammad_Iqbal

Perkembangan Kognitif Pada Anak

TAHAPAN PERKEMBANGAN KOGNITIF PADA ANAK

Seorang ahli Psikologi mengungkapkan ada beberapa tahapan perkembangan kognitif pada anak, diantaranya adalah :

1. Stadium sensori-motorik ( 0 - 18 atau 24 bulan )

Piaget berpendapat bahwa dalam perkembangan kognitif selama stadium sensori motorik ini, inteligensi anak baru nampak dalam bentuk aktivitas motorik sebagai reaksi simulasi sensorik. Dalam stadium ini yang penting adalah tindakan konkrit dan bukan tindakan imaginer atau hanya dibayangan saja. Piaget menamakan proses ini sebagai proses desentrasi, artinya anak dapat memandang dirinya sendiri dan lingkungan sebagai dua entitas yang berbeda. Sebelum usia 18 bulan, anak belum mengenal object permanence. Artinya, benda apapun yang tidak ia lihat, tidak ia sentuh, atau tidak ia dengar dianggap tidak ada meskipun sesungguhnya benda itu ada. Dalam rentang 18 – 24 bulan barulah kemampuan object permanence anak tersebut muncul secara bertahap dan sistematis.

2. Stadium pra-operasional ( 18 bulan - 7 tahun )

Stadium pra-operasional dimulai dengan penguasaan bahasa yang sistematis, permainan simbolis, imitasi ( tidak langsung ) serta bayangan dalam mental. Semua proses ini menunjukkan bahwa anak sudah mampu untuk melakukan tingkah laku simbolis. Anak sudah memiliki penguasaan sempurna tentang object permanence. Artinya, anak tersebut sudah memiliki kesadaran akan tetap eksisnya suatu benda yang harus ada atau biasa ada, walaupun benda tersebut sudah ia tinggalkan atau sudah tak dilihat, didengar atau disentuh lagi. Jadi, pandangan terhadap eksistensi benda tersebut berbeda dengan pandangan pada periode sensori motor, yakni tidak bergantung lagi pada pengamatannya belaka. Pada periode ditandai oleh adanya egosentris serta pada periode ini memungkinkan anak untuk mengembangkan diferred-imitation, insight learning dan kemampuan berbahasa, dengan menggunakan kata - kata yang benar serta mampu mengekspresikan kalimat - kalimat pendek tetapi efektif.
  • Berpikir pra-operasional masih sangat egosentris. Anak belum mampu ( secara perseptual, emosional - motivational, dan konsepsual ) untuk mengambil perspektif orang lain.
  • Cara berpikir pra-operasional sangat memusat ( centralized ). Bila anak dikonfrontasi dengan situasi yang multi - dimensional, maka ia akan memusatkan perhatiannya hanya pada satu dimensi saja dan mengabaikan dimensi - dimensi yang lain dan akhirnya juga mengabaikan hubungannya antara dimensi - dimensi ini.
  • Berpikir pra-operasional adalah tidak dapat dibalik ( irreversable ). Anak belum mampu untuk meniadakan suatu tindakan dengan memikirkan tindakan tersebut dalam arah yang sebaliknya.
  • Berpikir pra-operasional adalah terarah statis. Bila situasi A beralih ke situasi B, maka anak hanya memperhatikan situasi A, kemudian B. Ia tidak memperhatikan transformasi perpindahannya A ke B.
  • Berpikir pra-operasional adalah transductive ( pemikiran yang meloncat - loncat ). Tidak dapat melakukan pekerjaan secara berurutan . Dari total perintah hanya satu/ beberapa yang dapat dilakukan.
  • Berpikir pra-operasional adalah imaginatif, yaitu menempatkan suatu objek tidak berdasarkan realitas tetapi hanya yang ada dalam pikirannya saja.
3. Stadium operasional konkrit ( 7 - 11 tahun )

Cara berpikir anak yang operasional konkrit kurang egosentris. Ditandai oleh desentrasi yang besar, artinya anak sekarang misalnya sudah mampu untuk memperhatikan lebih dari satu dimensi sekaligus dan juga untuk menghubungkan dimensi - dimensi ini satu sama lain. Anak sekarang juga memperhatikan aspek dinamisnya dalam perubahan situasi. Akhirnya ia juga sudah mampu untuk mengerti operasi logis dari reversibilitas. 

Pada dasarnya perkembangan kognitif anak ditinjau dari karakteristiknya sudah sama dengan kemampuan kognitif orang dewasa. Namun masih ada keterbatasan kapasitas dalam mengkoordinasikan pemikirannya. Pada periode ini anak baru mampu berfikir sistematis mengenai benda - benda dan peristiwa-peristiwa yang konkret.

Ada juga kekurangan dalam cara berpikir operasional konkrit. Yaitu anak mampu untuk melakukan aktivitas logis tertentu tetapi hanya dalam situasi yang konkrit. Dengan kata lain, bila anak dihadapkan dengan suatu masalah ( misalnya masalah klasifikasi ) secara verbal, yaitu tanpa adanya bahan yang konkrit, maka ia belum mampu untuk menyelesaikan masalah ini dengan baik.

4. Stadium operasional formal ( mulai 11 tahun )

Pada periode ini seorang remaja telah memiliki kemampuan mengkoordinasikan baik secara simultan maupun berurutan dua ragam kemampuan kognitif yaitu :

Kapasitas menggunakan hipotesis ; kemampuan berfikir mengenai sesuatu khususnya dalam hal pemecahan masalah dengan menggunakan anggapan dasar yang relevan dengan lingkungan yang dia respons dan kapasitas menggunakan prinsip-prinsip abstrak.

Kapasitas menggunakan prinsip-prinsip abstrak; kemampuan untuk mempelajari materi-materi pelajaran yang abstrak secara luas dan mendalam.

Sifat deduktif - hipotetis

Dalam menghadapi masalah, anak akan menganalisis masalahnya dengan penyelesaian berbagai hipotesis yang mungkin ada. Atas dasar analisisnya ini, ia lalu membuat suatu strategi penyelesaian. Maka dari itulah berpikir operasional formal juga disebut berpikir proporsional.

Berpikir operasional formal juga berpikir kombinatoris

Berpikir operasional formal memungkinkan orang untuk mempunyai tingkah laku problem solving yang betul-betul ilmiah, serta memungkinkan untuk mengadakan pengujian hipotesis dengan variabel - variabel tergantung.

Dengan menggunakan hasil pengukuran tes inteligensi yang mencakup General Information and Verbal Analogies, Jones dan Conrad ( Loree dalam Abin Syamsuddin M, 2001 ) menunjukkan bahwa laju perkembangan inteligensi berlangsung sangat pesat sampai masa remaja, setelah itu kepesatannya berangsur menurun.

Puncak perkembangan pada umumnya tercapai di penghujung masa remaja akhir. Perubahan - perubahan amat tipis sampai usia 50 tahun, dan setelah itu terjadi plateau ( mapan ) sampai dengan usia 60 tahun selanjutnya berangsur menurun.

DAFTAR PUSTAKA
  • http://ilmupsikologi.wordpress.com/2010/03/31/perkembangan-kognitif-pada-anak/

Karakteristik Pada Anak

KARAKTERISTIK PADA ANAK

Pola asuh anak dalam keluarga sangat berpengaruh dalam segala aspek perkembangan anak termasuk dalam beberapa kecerdasan anak, beberapa acuan sederhana kecakapan intrapersonal yang dapat digunakan untuk mengukur kesiapan anak memasuki sekolah dasar menurut Tembong ( 2006 ) :
  • Anak sudah mampu mengurus diri sendiri, antara lain dalam hal buang air kecil dan buang air besar
  • Anak sudah mampu melaksanakan aktivitas-aktivitas tertentu dengan inisiatifnya sendiri, misalnya bangun, mandi, dan makan tanpa harus disuruh - suruh atau di kejar - kejar untuk melaksanakan urutan tugas - tugas tersebut agar tidak terlambat sekolah
  • Anak sudah memiliki inisiatif sendiri untuk belajar dan segera mengerjakan dan menyelesaikan tugas - tugas tersebut
  • Anak sudah memiliki kesadaran bahwa untuk dapat memahami dan mendalami suatu ilmu atau kecakapan, harus belajar dengan benar
  • Anak sudah mampu mengelola dan mengendalikan serta mengelola emosinya secara tepat guna ( appropriate ) dan konstruktif, bukan secara destruktif ( mengamuk, membanting, memukul, berguling - guling dan sebagainya )
Menurut Tembong, melalui proses pembelajaran yang benar, baik di rumah, di sekolah, maupun dilingkungan pengembangan lainnya, di akhir masa sekolah dasar, diharapkan anak memiliki ( 2006 :148 ) :
  • Need of Achiement ( keinginan untuk berprestasi ) yang cukup tinggi. Keinginan yang muncul dari dirinya sendiri atau kebutuhan menjadi lebih baik dari hasil sebelumnya
  • Need of competences ( kompetensi ) Keinginan atau kebutuhan untuk mampu menguasai berbagai macam kecakapan yang diperlukan dalam perkembangan berikutnya
  • Kemampuan mengelola dan mengungkapkan emosi - emosi nya secara lebih dewasa
  • Kemampuan untuk menentukan pilihan atas stimulus yang positif dan konstruktif
Adapun beberapa tolak ukur keberhasilan yang cukup penting dan mendasar dalam perkembangan kecakapan interpersonal ( Tembong, 2006 :152 ) :
  • Anak - anak mampu menjalin kerja sama dan kesetiaan persahabatan yang positif dengan teman sebaya
  • Anak - anak mampu memaafkan kesalahan orang lain dan meminta maaf bila mereka bersalah
  • Anak - anak mampu beradaptasi dengan lingkungan sosial atau pertemanan baru
  • Anak mampu mengidentifikasi peranan penting dirinya, baik didalam lingkungan keluarga, sekolah maupun di kalangan teman - teman sebayanya

DAFTAR PUSTAKA
  • http://ilmupsikologi.wordpress.com/2009/12/11/karakteristik-anak-anak/

Dimensi Remaja Menurut Perkembangannya

DIMENSI REMAJA MENURUT PERKEMBANGANNYA

Berdasarkan Aristotle, nilai - nilai moral menggambarkan sungguh - sungguh menegaskan karakter individu dan dapat diajarkan dan diperoleh dengan memberi pelatihan kepada mereka. Aquinas berpendapat bahwa nilai kebaikan adalah sebuah kebiasaan dimana setiap orang dapat berkembang dengan memilih mana yang baik dan bertindak sesuai dengan hal tersebut. Maudsley ( 1898 ) juga menegaskan bahwa karakter mengembangkan secara berangsur - angsur secara keseluruhan kehidupan dan tidak hanya berpikir dan berbicara belaka. Jadi, tidak seperti keputusan moral yang sadar karakter ditambahkan dengan kemampuan emosional dan tingkah laku.

Baumrind ( 1994, 4 ) memberikan definisi karakter sebagai berikut : “ Karakter menunjuk pada kebiasaan positif dan sudah diolah sebagai tanggung jawab sosial, komitmen moral, disiplin diri, dan kemantapan dengan kumpulan seluruh orang yang dinilai menjadi tidak sempurna, cukup memadai, atau patut dicontoh.” Variasi gagasan - gagasan tentang nasehat nilai secara terus menerus dimana karakter dapat diolah dengan pengasuhan yang baik, lembaga sekolah, dan sosialisasi, dan hal ini dapat dengan segera menjadi kebiasaan sehari - hari".

Perbedaan individu dalam beberapa komponen dari karakter yang baik ada di kalangan anak muda. Hal ini mungkin didasari oleh perbedaan watak seperti kemampuan bersosialisasi dan mereka mempelajari makna moral sejak dini dalam hidup. Contohnya, hubungan ibu dan bayi, perlindungan kasih sayang mungkin akan mengatur tingkat komponen karakter sebagaimana kita identifikasikan sebagai kapasitas mencintai dan dicintai. ( Ainsworth et al. 1978 ), dan hubungan saudara kandung mungkin sebagai percobaan kekuatan karakter dari kebaikan ( Dunn dan Munn 1986 ). Komponen lain dari karakter yang baik seperti keterbukaan dan keadilan memerlukan tingkatan kedewasaan, sebagai dokumen ahli perkembangan jiwa. ( cf. Kohlberg 1981, 1984 Piaget 1932 ). Ini adalah sebuah pertanyaan empiris bagaimana remaja terlalu muda untuk menunjukkan variasi komponan dari karakter yang baik. 

Ada beberapa hal yang mendasari kerangka pemikiran untuk perkembangan karakter salah satunya diinformasikan dengan perkembangan teori dan penelitian untuk memandu mendesain program. Studi empiris untuk memancarkan cahaya pada perkembangan karakter komponen individu, walaupun tidak ada pemeriksaan terhadap perkembangan karakter sebagai nilai - nilai positif keluarga sebagai sebuah gagasan multidimensional. Bagaimanapun juga, kami yakin bahwa variasi dari pengaruh memberi masukan pada perkembangan karakter yang baik.



DAFTAR PUSTAKA
  • http://ilmupsikologi.wordpress.com/2009/12/11/dimensi-remaja-menurut-perkembangannya/

Karakteristik Pada Remaja

KARAKTERISTIK PADA REMAJA

1. Transisi Biologis

Menurut Santrock ( 2003 : 91 ) perubahan fisik yang terjadi pada remaja terlihat nampak pada saat masa pubertas yaitu meningkatnya tinggi dan berat badan serta kematangan sosial. Diantara perubahan fisik itu, yang terbesar pengaruhnya pada perkembangan jiwa remaja adalah pertumbuhan tubuh ( badan menjadi semakin panjang dan tinggi ). Selanjutnya, mulai berfungsinya alat-alat reproduksi ( ditandai dengan haid pada wanita dan mimpi basah pada laki - laki ) dan tanda-tanda seksual sekunder yang tumbuh ( Sarlito Wirawan Sarwono, 2006 : 52 ).

Selanjutnya, Menurut Muss ( Dalam Sunarto & Agung Hartono, 2002 : 79 ) menguraikan bahwa perubahan fisik yang terjadi pada anak perempuan yaitu ; perertumbuhan tulang - tulang, badan menjadi tinggi, anggota - anggota badan menjadi panjang, tumbuh payudara.Tumbuh bulu yang halus berwarna gelap di kemaluan, mencapai pertumbuhan ketinggian badan yang maksimum setiap tahunnya, bulu kemaluan menjadi kriting, menstruasi atau haid, tumbuh bulu - bulu ketiak.

Sedangkan pada anak laki - laki peubahan yang terjadi antara lain; pertumbuhan tulang - tulang, testis ( buah pelir ) membesar, tumbuh bulu kemaluan yang halus, lurus, dan berwarna gelap, awal perubahan suara, ejakulasi ( keluarnya air mani ), bulu kemaluan menjadi keriting, pertumbuhan tinggi badan mencapai tingkat maksimum setiap tahunnya, tumbuh rambut-rambut halus diwajaah ( kumis, jenggot ), tumbuh bulu ketiak, akhir perubahan suara, rambut - rambut diwajah bertambah tebal dan gelap, dan tumbuh bulu dada.

Pada dasarnya perubahan fisik remaja disebabkan oleh kelenjar pituitary dan kelenjar hypothalamus. Kedua kelenjar itu masing - masing menyebabkan terjadinya pertumbuhan ukuran tubuh dan merangsang aktifitas serta pertumbuhan alat kelamin utama dan kedua pada remaja ( Sunarto dan Agung Hartono, 2002 : 94 )

2. Transisi Kognitif

Menurut Piaget ( dalam Santrock, 2002 : 15 ) pemikiran operasional formal berlangsung antara usia 11 sampai 15 tahun. Pemikiran operasional formal lebih abstrak, idealis, dan logis daripada pemikiran operasional konkret. Piaget menekankan bahwa bahwa remaja terdorong untuk memahami dunianya karena tindakan yang dilakukannya penyesuaian diri biologis. Secara lebih lebih nyata mereka mengaitkan suatu gagasan dengan gagasan lain. Mereka bukan hanya mengorganisasikan pengamatan dan pengalaman akan tetapi juga menyesuaikan cara berfikir mereka untuk menyertakan gagasan baru karena informasi tambahan membuat pemahaman lebih mendalam.

Menurut Piaget ( dalam Santrock, 2003 : 110 ) secara lebih nyata pemikiran opersional formal bersifat lebih abstrak, idealistis dan logis. Remaja berpikir lebih abstrak dibandingkan dengan anak - anak misalnya dapat menyelesaikan persamaan aljabar abstrak. Remaja juga lebih idealistis dalam berpikir seperti memikirkan karakteristik ideal dari diri sendiri, orang lain dan dunia. Remaja berfikir secara logis yang mulai berpikir seperti ilmuwan, menyusun berbagai rencana untuk memecahkan masalah dan secara sistematis menguji cara pemecahan yang terpikirkan.

Dalam perkembangan kognitif, remaja tidak terlepas dari lingkungan sosial. Hal ini menekankan pentingnya interaksi sosial dan budaya dalam perkembangan kognitif remaja.

3. Transisi Sosial

Santrock ( 2003 : 24 ) mengungkapkan bahwa pada transisi sosial remaja mengalami perubahan dalam hubungan individu dengan manusia lain yaitu dalam emosi, dalam kepribadian, dan dalam peran dari konteks sosial dalam perkembangan. Membantah orang tua, serangan agresif terhadap teman sebaya, perkembangan sikap asertif, kebahagiaan remaja dalam peristiwa tertentu serta peran gender dalam masyarakat merefleksikan peran proses sosial - emosional dalam perkembangan remaja. John Flavell ( dalam Santrock, 2003 : 125 ) juga menyebutkan bahwa kemampuan remaja untuk memantau kognisi sosial mereka secara efektif merupakan petunjuk penting mengenai adanya kematangan dan kompetensi sosial mereka.

Perkembangan sosial anak telah dimulai sejak bayi, kemudian pada masa kanak-kanak dan selanjutnya pada masa remaja. Hubungan sosial anak pertama-tama masing sangat terbatas dengan orang tuanya dalam kehidupan keluarga, khususnya dengan ibu dan berkembang semakin meluas dengan anggota keluarga lain, teman bermain dan teman sejenis maupun lain jenis ( dalam Rita Eka Izzaty dkk, 2008 : 139 ).

Berikut ini akan dijelaskan mengenai hubungan remaja dengan teman sebaya dan orang tua :

a. Hubungan dengan Teman Sebaya

Menurut Santrock ( 2003 : 219 ) teman sebaya ( peers ) adalah anak-anak atau remaja dengan tingkat usia atau tingkat kedewasaan yang sama. Jean Piaget dan Harry Stack Sullivan ( dalam Santrock, 2003: 220 ) mengemukakan bahwa anak-anak dan remaja mulai belajar mengenai pola hubungan yang timbal balik dan setara dengan melalui interaksi dengan teman sebaya. Mereka juga belajar untuk mengamati dengan teliti minat dan pandangan teman sebaya dengan tujuan untuk memudahkan proses penyatuan dirinya ke dalam aktifitas teman sebaya yang sedang berlangsung.

Sullivan beranggapan bahwa teman memainkan peran yang penting dalam membentuk kesejahteraan dan perkembangan anak dan remaja. Mengenai kesejahteraan, dia menyatakan bahwa semua orang memiliki sejumlah kebutuhan sosial dasar, juga termasuk kebutuhan kasih saying ( ikatan yang aman ), teman yang menyenangkan, penerimaan oleh lingkungan sosial, keakraban, dan hubungan seksual.

Ada beberapa beberapa strategi yang tepat untuk mencari teman menurut Santrock ( 2003 : 206 ) yaitu :
  • Menciptakan interaksi sosial yang baik dari mulai menanyakan nama, usia, dan aktivitas favorit
  • Bersikap menyenangkan, baik dan penuh perhatian
  • Tingkah laku yang prososial seperti jujur, murah hati dan mau bekerja sama.
  • Menghargai diri sendiri dan orang lain
  • Menyediakan dukungan sosial seperti memberikan pertolongan, nasihat, duduk berdekatan
Ada beberapa dampak apabila terjadi penolakan pada teman sebaya. Menurut Hurlock ( 2000 : 307 ) dampak negatif dari penolakan tersebut adalah :
  • Akan merasa kesepian karena kebutuhan social mereka tidak terpenuhi
  • Anak merasa tidak bahagia dan tidak aman
  • Anak mengembangkan konsep diri yang tidak menyenangkan, yang dapat menimbulkan penyimpangan kepribadian
  • Kurang mmemiliki pengalaman belajar yang dibutuhkan untuk menjalani proses sosialisasi
  • Akan merasa sangat sedih karena tidak memperoleh kegembiraan yang dimiliki teman sebaya mereka
  • Sering mencoba memaksakan diri untuk memasuki kelompok dan ini akan meningkatkan penolakan kelompok terhadap mereka semakin memperkecil peluang mereka untuk mempelajari berbagai keterampilan sosial
  • Akan hidup dalam ketidakpastian tentang reaksi social terhadap mereka, dan ini akan menyebabkan mereka cemas, takut, dan sangat peka
  • Sering melakukan penyesuaian diri secara berlebihan, dengan harapan akan meningkatkan penerimaan sosial mereka
Sementara itu, Hurlock ( 2000 : 298 ) menyebutkan bahwa ada beberapa manfaat yang diperoleh jika seorang anak dapat diterima dengan baik. Manfaat tersebut yaitu :
  • Merasa senang dan aman.
  • Mengembangkan konsep diri menyenangkan karena orang lain mengakui mereka
  • Memiliki kesempatan untuk mempelajari berbagai pola prilaku yang diterima secara sosial dan keterampilan sosial yang membantu kesinambungan mereka dalam situasi sosial
  • Secara mental bebas untuk mengalihkan perhatian meraka ke luar dan untuk menaruh minatpada orang atau sesuatu di luar diri mereka
  • Menyesuaikan diri terhadap harapan kelompok dan tidak mencemooh tradisi sosial
b. Hubungan dengan Orang Tua

Menurut Steinberg ( dalam Santrock, 2002 : 42 ) mengemukakan bahwa masa remaja awal adalah suatu periode ketika konflik dengan orang tua meningkat melampaui tingkat masa anak-anak. Peningkatan ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor yaitu perubahan biologis pubertas, perubahan kognitif yang meliputi peningkatan idealism dan penalaran logis, perubahan sosial yang berfokus pada kemandirian dan identitas, perubahan kebijaksanaan pada orang tua, dan harapan - harapan yang dilanggar oleh pihak rang tua dan remaja.

Collins ( dalam Santrock, 2002 : 42 ) menyimpulkan bahwa banyak orang tua melihat remaja mereka berubah dari seorang anak yang selalu menjadi seseorang yang tidak mau menurut, melawan, dan menantang standar - standar orang tua. Bila ini terjadi, orang tua cenderung berusaha mengendalikan dengan keras dan member lebih banyak tekanan kepada remaja agar mentaati standar - standar orang tua.

Berikut ada beberapa strategi yang diberikan oleh Santrock, ( 2002 : 24 ) yaitu : 
  • Menetapkan aturan-aturan dasar bagi pemecahan konflik
  • Mencoba mencapai suatu pemahaman timbale balik
  • Mencoba melakukan corah pendapat ( brainstorming )
  • Mencoba bersepakat tentang satu atau lebih pemecahan masalah
  • Menulis kesepakatan
  • Menetapkan waktu bagi suatu tindak lanjut untuk melihat kemajuan yang telah dicapai
Berdasarkan uraian tersebut maka peneliti menyimpulkan bahwa proses perkembangan remaja meliputi masa transisi biologis yaitu pertumbuhan dan perkembangan fisik. Transisi kognitif yaitu perkembangan kognitif remaja pada lingkungan sosial dan juga proses sosioemosional dan yang terakhir adalah masa transisi sosial yang meliputi hubungan dengan orang tua, teman sebaya, serta masyarakat sekitar.


DAFTAR PUSTAKA
  • http://ilmupsikologi.wordpress.com/2009/12/11/karakteristik-remaja/

Karakteristik Perilaku Agresif

KARAKTERISTIK PERILAKU AGRESIF

Secara umum, yang dimaksud dengan gangguan emosi dan perilaku adalah ketidak mampuan yang di tunjukan dengan respons emosional atau perilaku yang berbeda dari usia sebayanya, budaya atau norma sosial. Ketidak mampuan tersebut akan mempengaruhi prestasi sekolah yaitu prestasi akademik, interaksi sosial dan ketrampilan pribadinya. Ketidak mampuan ini sifatnya menetap dan akan lebih tampak bila sang anak berada dalam situasi yang dirasakan menegangkan olehnya.

Gangguan emosi dan perilaku dapat saja muncul bersama gangguan psikologis lain, misalnya ADD ( Attention Deficit Disorder ) yaitu gangguan pemusatan pikiran ( GPP ) atau ADHD ( Attention Dificit and Hyperactive Disorder ) yaitu gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas ( GPPH ) atau pun retardasi mental.

Karakteristik dari masalah perilaku dan emosional ini sangat bervariasi. Berikut ini akan digambarkan karakteristik perilaku agresif Menurut Masykouri ( 2005 ) :

Perilaku agresif dapat bersifat verbal maupun nonverbal

Bersifat verbal biasanya lebih tergantung pada situasional bersifat nonverbal yakni perilaku agresif yang merupakan respons dari keadaan frustasi, takut atau marah dengan cara mencoba menyakiti orang lain.

Bentuk-bentuk perilaku agresif ini yang paling tampak adalah memukul, berkelahi, mengejek, berteriak, tidak mau mengikuti perintah atau permintaan, menangis atau merusak. Anak yang menunjukan perilaku ini biasanya kita anggap sebagai pengganggu atau pembuat onar. Sebenarnya, anak yang tidak mengalami masalah emosi atu perilaku juga menampilkan perilaku seperti yang disebutkan diatas, tetapi tidak sesering atau seimpulsif anak yang memiliki masalah emosi atau perilaku.

Anak dengan perilaku agresif biasanya mendapatkan masalah tambahan seperti tidak terima oleh teman-temannya ( dimusuhi, dijauhi, tidak diajak bermain ) dan dianggap sebagai pembuat masalah oleh guru. Perilaku agresif semacam itu biasanya diperkuat dengan didapatkan penguatan dari lingkungan berupa status, dianggap hebat oleh teman sebaya, atau didapatkannya sesuatu yang diinginkan, termasuk melihat temannya menangis saat dipukul olehnya.

Perilaku agresif merupakan bagian dari perilaku antisosial

Perilaku anti sosial sendiri mencakup berbagai tindakan seperti tindakan agresif, ancaman secara verbal terhadap orang lain, perkelahian, perusakan hak milik, pencurian, suka merusak ( vandalis ), kebohongan, pembakaran, kabur dari rumah, pembunuhan dan lain-lain. Menurut buku panduan diagnostik ( dalam Masykouri, 2005: 12.4 ) untuk gangguan mental, seseorang dikatakan mengalami gangguan perilaku antisosial ( termasuk agresif ) bila tiga di antara daftar perilaku khusus berikut terdapat dalam seseorang secara bersama - sama paling tidak selama enam bulan.


DAFTAR PUSTAKA
  • http://ilmupsikologi.wordpress.com/2010/01/19/karakteristik-perilaku-agresif/

Pengertian Perilaku Agresif

PENGERTIAN PERILAKU AGRESIF

Agresif secara psikologis berarti cenderung ( ingin ) menyerang kepada sesuatu yang dipandang sebagai hal yang mengecewakan, menghalangi atau menghambat ( KBBI : 1995 : 12 ). Perilaku ini dapat membahayakan anak atau orang lain. misalnya, menusukan pensil yang runcing ke tangan temannya, atau mengayun - ayunkan tasnya sehingga mengenai orang yang berada di sekitarnya. Ada juga anak yang selalu memaksa temannya untuk melakukan sesuatu yang ia inginkan, bahkan tidak sedikit pula anak yang mengejek atau membuat anak lain menjadi kesal.

Agresif terjadi pada masa perkembangan. Perilaku agresif sebenarnya sangat jarang ditemukan pada anak yang berusia di bawah 2 tahun. Namun, ketika anak memasuki usia 3 - 7 tahun, perilaku agresif menjadi bagian dari tahapan perkembangan mereka dan sering kali menimbulkan masalah, tidak hanya di rumah tetapi juga di sekolah. Diharapkan setelah melewati usia 7 tahun, anak sudah lebih dapat mengendalikan dirinya untuk tidak menyelesaikan masalah dengan perilaku agresif. Tetapi, bila keadaan ini menetap, maka ada indikasi anak mengalami gangguan psikologis.

Dampak utama dari perilaku agresif ini adalah anak tidak mampu berteman dengan anak lain atau bermain dengan teman - temannya. Keadaan ini menciptakan lingkaran setan, semakin anak tidak diterima oleh teman - temanya, maka makin menjadilah perilaku agresif yang ditampilkannya.

Perilaku agresif biasanya ditunjukkan untuk menyerang, menyakiti atau melawan orang lain, baik secara fisik maupun verbal. Hal itu bisa berbentuk pukulan, tendangan, dan perilaku fisik lainya, atau berbentuk cercaan, makian ejekan, bantahan dan semacamnya.

Perilaku agresif dianggap sebagai suatu gangguan perilaku bila memenuhi persayaratan sebagai berikut :
  • Bentuk perilaku luar biasa, bukan hanya berbeda sedikit dari perilaku yang biasa Misalnya, memukul itu termasuk perilaku yang biasa, tetapi bila setiap kali ungkapan tidak setuju dinyatakan dengan memukul, maka perilaku tersebut dapat diindikasikan sebagai perilaku agresif. Atau, bila memukulnya menggunakan alat yang tidak wajar, misalnya memukul dengan menggunakan tempat minum
  • Masalah ini bersifat kronis, artinya perilaku ini bersifat menetap, terus - menerus, tidak menghilang dengan sendirinya
  • Perilaku tidak dapat diterima karena tidak sesuai dengan norma sosial atau budaya
Lebih lanjut Hidayani menjelaskan bahwa perilaku agresif dapat ditampilkan oleh anak individu ( agresif tipe soliter ) maupun secara berkelompok ( agresif tipe group ). Pada perilaku agresif yang dilakukan berkelompok/grup, biasanya ada anak yang merupakan ketua kelompok dan memerintahkan teman-teman sekelompoknya untuk melakukan perbuatan - perbuatan tertentu. Pada tipe ini, biasanya anak-anak yang bergabung mempunyai masalah yang hampir sama lalu memberikan kesampatan yang sama lalu memberikan kesampatan pada salah satu anak untuk menjadi ketua kelompok. Pada tipe ini sering terjadi perilaku agresif dalam bentuk fisik.

Sedang pada tipe soliter, perilaku agresif dapat berupa fisik maupun verbal, biasanya dimulai oleh seseorang yang bukan bagian dari tindakan kelompok. Tidak ada usaha si anak untuk menyembunyikan perilaku tersebut. Anak tipe ini sering kali menjauhkan diri dari orang lain sehingga lingkungan juga menolak keberadaannya.

Tidak jarang anak-anak ini, baik secara individual atau berkelompok, membuat anak lain mengikuti kemauan mereka dengan cara-cara yang agresif. Akibatnya, ada anak atau sekelompok anak yang menjadi korban dari anak lain yang berperilaku agresif.


DAFTAR PUSTAKA
  • http://ilmupsikologi.wordpress.com/2010/01/19/pengertian-perilaku-agresif/

Manfaat Bimbingan Kelompok

MANFAAT BIMBINGAN KELOMPOK

Manfaat bimbingan kelompok menurut Dewa Ketut Sukardi ( 2008 : 67 ), yaitu :
  1. Diberikan kesempatan yang luas untuk berpendapat dan membicarakan berbagai hal yang terjadi disekitarnya
  2. Memiliki pemahaman yang obyektif, tepat, dan cukup luas tentang berbagai hal yang mereka bicarakan
  3. Menimbulkan sikap yang positif terhadap keadaan diri dan lingkungan mereka yang berhubungan dengan hal - hal yang mereka bicarakan dalam kelompok
  4. Menyusun program - program kegiatan untuk mewujudkan penolakan terhadap yang buruk dan dukungan terhadap yang baik
  5. Melaksanakan kegiatan-kegiatan nyata dan langsung untuk membuahkan hasil sebagaimana yang mereka programkan semula

Winkel dan Sri Hastuti ( 2004 : 565 ) juga menyebutkan manfaat layanan bimbingan kelompok adalah mendapat kesempatan untuk berkontak dengan banyak siswa memberikan informasi yang dibutuhkan oleh siswa siswa dapat menyadari tantangan yang akan dihadapi siswa dapat menerima dirinya setelah menyadari bahwa teman - temannya sering menghadapi persoalan, kesulitan dan tantangan yang kerap kali sama dan lebih berani mengemukakan pandangannya sendiri bila berada dalam kelompok diberikan kesempatan untuk mendiskusikan sesuatu bersama lebih bersedia menerima suatu pandangan atau pendapat bila dikemukakan oleh seorang teman daripada yang dikemukakan oleh seorang konselor.

Menurut beberapa pendapat para ahli tersebut, penulis menyimpulkan bahwa manfaat dari layanan bimbingan kelompok adalah dapat melatih siswa untuk dapat hidup secara berkelompok dan menumbuhkan kerjasama antara siswa dalam mengatasi masalah, melatih siswa untuk dapat mengemukakan pendapat dan menghargai pendapat orang lain dan dapat meningkatkan kemampuan siswa untuk dapat berkomunikasi dengan teman sebaya dan pembimbing.


DAFTAR PUSTAKA
  • http://ilmupsikologi.wordpress.com/2010/01/14/manfaat-bimbingan-kelompok/

Tujuan Bimbingan Kelompok

TUJUAN BIMBINGAN KELOMPOK

Tujuan layanan bimbingan kelompok menurut Winkel dan Sri Hastuti ( 2004 : 547 ) adalah menunjang perkembangan pribadi dan perkembangan sosial masing - masing anggota kelompok serta meningkatkan mutu kerja sama dalam kelompok guna aneka tujuan yang bermakna bagi para partisipan. Selain itu bimbingan kelompok bertujuan untuk merespon kebutuhan dan minat para peserta didik. Topic yang didiskusikan dalam bimbingan kelompok ini bersifat umum ( common problem ) dan tidak rahasia ( Departemen Pendidikan Nasional, 2008 ).

Sementara itu, tujuan layanan bimbingan kelompok menurut Tohirin ( 2007 : 172 ) dikelompokkan menjadi dua yaitu tujuan umum dan tujuan khusus.

Tujuan Umum
  • Secara umum layanan bimbingan kelompok bertujuan untuk pengembangan kemampuan bersosialisasi, khususnya kemampuan berkomunikasi perserta layanan ( siswa )

Tujuan Khusus
  • Secara lebih khusus layanan bimbingan kelompok bertujuan untuk mendorong pengembangan perasaan, pikiran, persepsi, wawasan dan sikap yang menunjang perwujudan tingkah laku yang lebih efektif, yaitu peningkatan kemampuan berkomunikasi baik verbal maupun non verbal para siswa.
Melihat definisi beberapa ahli tersebut penulis menyimpulkan bahwa tujuan layanan bimbingan kelompok adalah untuk melatih siswa dalam mengembangkan kemampuan bersosialisasi, dan mewujudkan tingkah laku yang lebih efektif serta meningkatkan kemampuan berkomunikasi baik verbal maupun non verbal.


DAFTAR PUSTAKA
  • http://ilmupsikologi.wordpress.com/2010/01/14/tujuan-bimbingan-kelompok/

Pengertian Bimbingan Kelompok

PENGERTIAN BIMBINGAN KELOMPOK

Menurut Tohirin ( 2007 : 170 ) menyebutkan bahwa definisi bimbingan kelompok adalah suatu cara memberikan bantuan kepada individu ( siswa ) melalui kegiatan kelompok. Dalam bimbingan kelompok merupakan sarana untuk menunjang perkembangan optimal masing - masing siswa, yang diharapkan dapat mengambil manfaat dari pengalaman pendidikan ini bagi dirinya sendiri ( dalam Winkel &  Sri Hastuti, 2004 : 565 ).

Sementara itu, Dewa Ketut Sukardi ( 2008 : 64 ) menyatakan hal yang sama mengenai bimbingan kelompok yaitu :

layanan bimbingan yang memungkinkan sejumlah peserta didik secara bersama - sama memperoleh berbagai bahan dari narasumber tertentu ( terutama dari pembimbing / konselor ) yang berguna untuk menunjang kehidupannya sehari-hari baik individu maupun pelajar, anggota keluarga dan masyarakat serta untuk pertimbangan dalam pengambilan keputusan.

Berdasarkan pemaparan tersebut, saya dapat menyimpulkan bahwa bimbingan kelompok adalah salah satu teknik dalam bimbingan kelompok untuk memberikan bantuan kepada peserta didik/siswa yang dilakukan oleh seorang pembimbing / konselor melalui kegiatan kelompok yang dapat berguna untuk mencegah berkembangnya masalah-masalah yang dihadapi anak.

DAFTAR PUSTAKA
  • http://ilmupsikologi.wordpress.com/2010/01/14/pengertian-bimbingan-kelompok/

Bentuk - Bentuk Bimbingan Kelompok

BENTUK - BENTUK BIMBINGAN KELOMPOK

Bentuk - Bentuk Bimbingan Kelompok ada beberapa macam. Macam - macam Bimbingan Kelompok ini dapat digunakan pada situasi dan permasalahan tersendiri. Konselor harus dapat menilai dan melihat keadaan kliennya dan dapat menggunakan Layanan Bimbingan Kelompok dengan pas dan terarah.

Beberapa jenis metode bimbingan kelompok menurut Tohirin ( 2007: 290 ) yaitu :

Program Home Room

Program ini dilakukan dilakukan di luar jam perlajaran dengan menciptakan kondisi sekolah atau kelas seperti di rumah sehingga tercipta kondisi yang bebas dan menyenangkan. Dengan kondisi tersebut siswa dapat mengutarakan perasaannya seperti di rumah sehingga timbul suasana keakraban. Tujuan utama program ini adalah agar guru dapat mengenal siswanya secara lebih dekat sehingga dapat membantunya secara efsien.

Karyawisata

Karyawisata dilaksanakan dengan mengunjungi dan mengadakan peninjauan pada objek-objek yang menarik yang berkaitan dengan pelajaran tertentu. Mereka mendapatkan informasi yang mereka butuhkan. Hal ini akan mendorong aktivitas penyesuaian diri, kerjasama, tanggung jawab, kepercayaan diri serta mengembangkan bakat dan cita-cita.

Diskusi kelompok

Diskusi kelompok merupakan suatu cara di mana siswa memperoleh kesempatan untuk memecahkan masalah secara bersama-sama. Setiap siswa memperoleh kesempatan untuk mengemukakan pikirannya masing-masing dalam memecahkan suatu masalah. Dalam memlakukan diskusi siswa diberi peran-peran tertentuseperti pemimpin diskusi dan notulis dan siswa lain menjadi peserta atau anggota. Dengan demikian akan timbul rasa tanggung jawab dan harga diri.

Kegiatan Kelompok

Kegiatan kelompok dapat menjadi suatu teknik yang baik dalam bimbingan, karena kelompok dapat memberikan kesempatan pada individu (para siswa) untuk berpartisipasi secara baik. Banyak kegiatan tertentu yang lebih berhasil apabila dilakukan secara kelompok. Melalui kegiatan kelompok dapat mengembangkan bakat dan menyalurkan dorongan-dorongan tertentu dan siswa dapat menyumbangkan pemikirannya. Dengan demikian muncul tanggung jawab dan rasa percaya diri.

Organisasi Siswa

Organisasi siswa khususnya di lingkungan sekolah dan madrasah dapat menjadi salah satu teknik dalam bimbingan kelompok. melalui organisasi siswa banyak masalah-masalah siswa yang baik sifatnya individual maupun kelompok dapat dipecahkan. Melalui organisasi siswa, para siswa memperoleh kesempatan mengenal berbagai aspek kehidupan sosial. Mengaktifkan siswa dalam organisasi siswa dapat mengembangkan bakat kepemimpinan dan memupuk rasa tanggung jawab serta harga diri siswa.

Sosiodrama

Sosiodrama dapat digunakan sebagai salah satu cara bimbingan kelompok. sosiodrama merupakan suatu cara membantu memecahkan masalah siswa melalui drama. Masalah yang didramakan adalah masalah-masalah sosial. Metode ini dilakukan melalui kegiatan bermain peran. Dalam sosiodrama, individu akan memerankan suatu peran tertentu dari situasi masalah sosial.

Pemecahan masalah individu diperoleh melalui penghayatan peran tentang situasi masalah yang dihadapinya. Dari pementasan peran tersebut kemudian diadakan diskusi mengenai cara-cara pemecahan masalah.

Psikodrama

Hampir sama dengan sosiodrama. Psikodrama adalah upaya pemecahan masalah melalui drama. Bedanya adalah masalah yang didramakan. Dalam sosiodrama masalah yang diangkat adalah masalah sosial, akan tetapi pada psikodrama yang didramakan adalah masalah psikis yang dialami individu.

Pengajaran Remedial

Pengajaran remedial (remedial teaching) merupakan suatu bentuk pembelajaran yang diberikan kepada seorang atau beberapa orang siswa untuk membantu kesulitan belajar yang dihadapinya. Pengajaran remedial merupakan salah satu teknik pemberian bimbingan yang dapat dilakukan secara individu maupun kelompok tergantung kesulitan belajar yang dihadapi oleh siswa.


DAFTAR PUSTAKA
  • http://ilmupsikologi.wordpress.com/2010/01/14/bentuk-bentuk-bimbingan-kelompok/

Jenis Bimbingan dan Konseling

JENIS BIMBINGAN dan KONSELING

Jenis – jenis bimbingan di dapat bedakan menjadi tiga, yaitu :

A. Bimbingan Pendidikan ( Educational Guidance )

Dalam hal ini bantuan yang dapat diberikan kepada anak dalam bimbingan pendidikan berupa informasi pendidikan, cara belajar yang efektif, pemilihan jurusan, lanjutan sekolah, mengatasi masalah belajar, mengambangkan kemampuan dan kesanggupan secara optimal dalam pendidikan atau membantu agar para siswa dapat sukses dalm belajar dan mampu menyesuaikan diri terhadap semua tuntutan sekolah.

B. Bimbingan Pekerjaan

Bimbingan pekerjaan merupakan kegiatan bimbingan yang pertama, yang dimulai oleh Frank Parson pada tahun 1908 di Boston, Amerika Serikat. Departemen tenaga kerja di negara ini telah memplopori bimbingan pekerjaan bagi kaum muda agar mereka memiliki bekal untuk terjun ke masyarakat.

Bimbingan pekerjaan telah masuk sekolah dan setiap siswa di sekolah lanjutan tungkat pertama dan atas menerima bimbingan karir. Konsep Parson sangat sederhana, yaitu sekedar membandingkandan mengkombinasikan antara hasil analisis individual dan hasil analisis dunia kerja

C. Bimbingan Pribadi

Bimbingan pribadi merupakan batuan yang diberikan kepada siswa untuk embangun hidup pribadinya, seperti motivasi, persepsi tentang diri, gaya hidup, perkembangan nilai-nilai moral / agama dan sosial dalam diri, kemampuan mengerti dan menerima diri orang lain, serta membantunya untuk memecahkan masalah pribadi yang ditemuinya. Ketepatan bimbingan ini lebih terfokus pada pengembangan pribadi, yaitu membantu para siswa sebagai diri untuk belajar mengenal dirinya, belajar menerima dirinya, dan belajar menerapkan dirinya dalam proses penyesuaian yang produktif terhadap lingkunganya.

Dalam bimbingan pribadi ini dapat dirinci menjadi pokok-pokok berikut :
  1. Pemantapan sikap dan kebiasaan serta pengembangan wawasan dalam beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME
  2. Pemantapan pemahaman tentang kekuatan diri dan pengembangan untuk kegiatan-kegiatan yang kreatif dan produktif, baik dalam kehidupan sehari-hari maupun untuk peranya masa depan
  3. Pemantapan pemahaman tentang kelamahan diri dan usaha penanggulanganya.
  4. Pemantapan kemampuan mengambil keputusan.
  5. Pemantapan kemampuan mengarahkan diri sesuai dengan keputusan yang diambilnya.
  6. Pemantapan kemampuan berkomunikasi, baik melalui lisan maupun tulisan secara efektif
  7. Pemantapan kemampuan menerima dan menyampaikan pendapat serta berargumentasi secara dinamis, kreatif dan produktif.
Selain jenis – jenis dalam bimbingan, juga terdapat beberapa jenis-jenis layanan dalam bimbignan dan konseling. Berikut uraianya :
  1. Layanan Orientasi; Layanan orientasi merupakan layanan yang memungkinan peserta didik memahami lingkungan baru, terutama lingkungan sekolah dan obyek-obyek yang dipelajari, untuk mempermudah dan memperlancar berperannya peserta didik di lingkungan yang baru itu, sekurang-kurangnya diberikan dua kali dalam satu tahun yaitu pada setiap awal semester. Tujuan layanan orientasi adalah agar peserta didik dapat beradaptasi dan menyesuaikan diri dengan lingkungan baru secara tepat dan memadai, yang berfungsi untuk pencegahan dan pemahaman.
  2. Layanan Informasi; merupakan layanan yang memungkinan peserta didik menerima dan memahami berbagai informasi (seperti : informasi belajar, pergaulan, karier, pendidikan lanjutan). Tujuan layanan informasi adalah membantu peserta didik agar dapat mengambil keputusan secara tepat tentang sesuatu, dalam bidang pribadi, sosial, belajar maupun karier berdasarkan informasi yang diperolehnya yang memadai. Layanan informasi pun berfungsi untuk pencegahan dan pemahaman.
  3. Layanan Pembelajaran; merupakan layanan yang memungkinan peserta didik mengembangkan sikap dan kebiasaan belajar yang baik dalam menguasai materi belajar atau penguasaan kompetensi yang cocok dengan kecepatan dan kemampuan dirinya serta berbagai aspek tujuan dan kegiatan belajar lainnya, dengan tujuan agar peserta didik dapat mengembangkan sikap dan kebiasaan belajar yang baik. Layanan pembelajaran berfungsi untuk pengembangan.
  4. Layanan Penempatan dan Penyaluran; merupakan layanan yang memungkinan peserta didik memperoleh penempatan dan penyaluran di dalam kelas, kelompok belajar, jurusan/program studi, program latihan, magang, kegiatan ko/ekstra kurikuler, dengan tujuan agar peserta didik dapat mengembangkan segenap bakat, minat dan segenap potensi lainnya. Layanan Penempatan dan Penyaluran berfungsi untuk pengembangan.
  5. 5. Layanan Konseling Perorangan; merupakan layanan yang memungkinan peserta didik mendapatkan layanan langsung tatap muka (secara perorangan) untuk mengentaskan permasalahan yang dihadapinya dan perkembangan dirinya. Tujuan layanan konseling perorangan adalah agar peserta didik dapat mengentaskan masalah yang dihadapinya. Layanan Konseling Perorangan berfungsi untuk pengentasan dan advokasi.
  6. Layanan Bimbingan Kelompok; merupakan layanan yang memungkinan sejumlah peserta didik secara bersama-sama melalui dinamika kelompok memperoleh bahan dan membahas pokok bahasan (topik) tertentu untuk menunjang pemahaman dan pengembangan kemampuan sosial, serta untuk pengambilan keputusan atau tindakan tertentu melalui dinamika kelompok, dengan tujuan agar peserta didik dapat memperoleh bahan dan membahas pokok bahasan (topik) tertentu untuk menunjang pemahaman dan pengembangan kemampuan sosial, serta untuk pengambilan keputusan atau tindakan tertentu melalui dinamika kelompok. Layanan Bimbingan Kelompok berfungsi untuk pemahaman dan pengembangan
  7. Layanan Konseling Kelompok; merupakan layanan yang memungkinan peserta didik (masing-masing anggota kelompok) memperoleh kesempatan untuk pembahasan dan pengentasan permasalahan pribadi melalui dinamika kelompok, dengan tujuan agar peserta didik dapat memperoleh kesempatan untuk pembahasan dan pengentasan permasalahan pribadi melalui dinamika kelompok. Layanan Konseling Kelompok berfungsi untuk pengentasan dan advokasi.

DAFTAR PUSTAKA
  • http://ilmupsikologi.wordpress.com/2009/12/31/jenis-bimbingan-konseling/

Psikologi Pada Lanjut Usia

PSIKOLOGI PADA LANJUT USIA

Proses menua ( lansia ) adalah proses alami yang disertai adanya penurunan kondisi fisik, psikologis maupun sosial yang saling berinteraksi satu sama lain. Keadaan itu cenderung berpotensi menimbulkan masalah kesehatan secara umum maupun kesehatan jiwa secara khusus pada lansia. Masalah kesehatan jiwa lansia termasuk juga dalam masalah kesehatan yang dibahas pada pasien - pasien Geriatri dan Psikogeriatri yang merupakan bagian dari Gerontologi, yaitu ilmu yang mempelajari segala aspek dan masalah lansia, meliputi aspek fisiologis, psikologis, sosial, kultural, ekonomi dan lain - lain ( Depkes. RI, 1992 : 6 )

Geriatri adalah cabang ilmu kedokteran yang mempelajari masalah kesehatan pada lansia yang menyangkut aspek promotof, preventif, kuratif dan rehabilitatif serta psikososial yang menyertai kehidupan lansia. Sementara Psikogeriatri adalah cabang ilmu kedokteran jiwa yang mempelajari masalah kesehatan jiwa pada lansia yang menyangkut aspek promotof, preventif, kuratif dan rehabilitatif serta psikososial yang menyertai kehidupan lansia.

Ada 4 ciri yang dapat dikategorikan sebagai pasien Geriatri dan Psikogeriatri, yaitu :
  1. Keterbatasan fungsi tubuh yang berhubungan dengan makin meningkatnya usia.
  2. Adanya akumulasi dari penyakit-penyakit degeneratif
  3. Lanjut usia secara psikososial yang dinyatakan krisis bila : a) Ketergantungan pada orang lain (sangat memerlukan pelayanan orang lain), b) Mengisolasi diri atau menarik diri dari kegiatan kemasyarakatan karena berbagai sebab, diantaranya setelah menajalani masa pensiun, setelah sakit cukup berat dan lama, setelah kematian pasangan hidup dan lain-lain.
  4. Hal-hal yang dapat menimbulkan gangguan keseimbangan (homeostasis) sehingga membawa lansia kearah kerusakan / kemerosotan (deteriorisasi) yang progresif terutama aspek psikologis yang mendadak, misalnya bingung, panik, depresif, apatis dsb. Hal itu biasanya bersumber dari munculnya stressor psikososial yang paling berat, misalnya kematian pasangan hidup, kematian sanak keluarga dekat, terpaksa berurusan dengan penegak hukum, atau trauma psikis.
Ada beberapa faktor yang sangat berpengaruh terhadap kesehatan jiwa lansia. Faktor-faktor tersebut hendaklah disikapi secara bijak sehingga para lansia dapat menikmati hari tua mereka dengan bahagia.

Adapun beberapa faktor yang dihadapi para lansia yang sangat mempengaruhi kesehatan jiwa mereka adalah sebagai berikut :

1. Penurunan Kondisi Fisik

Setelah orang memasuki masa lansia umumnya mulai dihinggapi adanya kondisi fisik yang bersifat patologis berganda ( multiple pathology ), misalnya tenaga berkurang, enerji menurun, kulit makin keriput, gigi makin rontok, tulang makin rapuh, dsb. Secara umum kondisi fisik seseorang yang sudah memasuki masa lansia mengalami penurunan secara berlipat ganda. Hal ini semua dapat menimbulkan gangguan atau kelainan fungsi fisik, psikologik maupun sosial, yang selanjutnya dapat menyebabkan suatu keadaan ketergantungan kepada orang lain.

Dalam kehidupan lansia agar dapat tetap menjaga kondisi fisik yang sehat, maka perlu menyelaraskan kebutuhan-kebutuhan fisik dengan kondisi psikologik maupun sosial, sehingga mau tidak mau harus ada usaha untuk mengurangi kegiatan yang bersifat memforsir fisiknya. Seorang lansia harus mampu mengatur cara hidupnya dengan baik, misalnya makan, tidur, istirahat dan bekerja secara seimbang.

2. Penurunan Fungsi dan Potensi Seksual

Penurunan fungsi dan potensi seksual pada lanjut usia sering kali berhubungan dengan berbagai gangguan fisik seperti : Gangguan jantung, gangguan metabolisme, misal diabetes millitus, vaginitis, baru selesai operasi : misalnya prostatektomi, kekurangan gizi, karena pencernaan kurang sempurna atau nafsu makan sangat kurang, penggunaan obat-obat tertentu, seperti antihipertensi, golongan steroid, tranquilizer.
Faktor psikologis yang menyertai lansia antara lain :
  • Rasa tabu atau malu bila mempertahankan kehidupan seksual pada lansia
  • Sikap keluarga dan masyarakat yang kurang menunjang serta diperkuat oleh tradisi dan budaya.
  • Kelelahan atau kebosanan karena kurang variasi dalam kehidupannya.
  • Pasangan hidup telah meninggal.
  • Disfungsi seksual karena perubahan hormonal atau masalah kesehatan jiwa lainnya misalnya cemas, depresi, pikun dsb.
3. Perubahan Aspek Psikososial

Pada umumnya setelah orang memasuki lansia maka ia mengalami penurunan fungsi kognitif dan psikomotor. Fungsi kognitif meliputi proses belajar, persepsi, pemahaman, pengertian, perhatian dan lain-lain sehingga menyebabkan reaksi dan perilaku lansia menjadi makin lambat. Sementara fungsi psikomotorik (konatif) meliputi hal-hal yang berhubungan dengan dorongan kehendak seperti gerakan, tindakan, koordinasi, yang berakibat bahwa lansia menjadi kurang cekatan.

Dengan adanya penurunan kedua fungsi tersebut, lansia juga mengalami perubahan aspek psikososial yang berkaitan dengan keadaan kepribadian lansia. 

Beberapa perubahan tersebut dapat dibedakan berdasarkan 5 tipe kepribadian lansia sebagai berikut :
  1. Tipe Kepribadian Konstruktif (Construction personalitiy), biasanya tipe ini tidak banyak mengalami gejolak, tenang dan mantap sampai sangat tua.
  2. Tipe Kepribadian Mandiri (Independent personality), pada tipe ini ada kecenderungan mengalami post power sindrome, apalagi jika pada masa lansia tidak diisi dengan kegiatan yang dapat memberikan otonomi pada dirinya.
  3. Tipe Kepribadian Tergantung (Dependent personalitiy), pada tipe ini biasanya sangat dipengaruhi kehidupan keluarga, apabila kehidupan keluarga selalu harmonis maka pada masa lansia tidak bergejolak, tetapi jika pasangan hidup meninggal maka pasangan yang ditinggalkan akan menjadi merana, apalagi jika tidak segera bangkit dari kedukaannya.
  4. Tipe Kepribadian Bermusuhan (Hostility personality), pada tipe ini setelah memasuki lansia tetap merasa tidak puas dengan kehidupannya, banyak keinginan yang kadang-kadang tidak diperhitungkan secara seksama sehingga menyebabkan kondisi ekonominya menjadi morat-marit.
  5. Tipe Kepribadian Kritik Diri (Self Hate personalitiy), pada lansia tipe ini umumnya terlihat sengsara, karena perilakunya sendiri sulit dibantu orang lain atau cenderung membuat susah dirinya.
4. Perubahan yang Berkaitan Dengan Pekerjaan

Pada umumnya perubahan ini diawali ketika masa pensiun. Meskipun tujuan ideal pensiun adalah agar para lansia dapat menikmati hari tua atau jaminan hari tua, namun dalam kenyataannya sering diartikan sebaliknya, karena pensiun sering diartikan sebagai kehilangan penghasilan, kedudukan, jabatan, peran, kegiatan, status dan harga diri. Reaksi setelah orang memasuki masa pensiun lebih tergantung dari model kepribadiannya seperti yang telah diuraikan pada point tiga di atas.

Bagaimana menyiasati pensiun agar tidak merupakan beban mental setelah lansia? Jawabannya sangat tergantung pada sikap mental individu dalam menghadapi masa pensiun. Dalam kenyataan ada menerima, ada yang takut kehilangan, ada yang merasa senang memiliki jaminan hari tua dan ada juga yang seolah-olah acuh terhadap pensiun (pasrah).

Masing-masing sikap tersebut sebenarnya punya dampak bagi masing-masing individu, baik positif maupun negatif. Dampak positif lebih menenteramkan diri lansia dan dampak negatif akan mengganggu kesejahteraan hidup lansia. Agar pensiun lebih berdampak positif sebaiknya ada masa persiapan pensiun yang benar-benar diisi dengan kegiatan-kegiatan untuk mempersiapkan diri, bukan hanya diberi waktu untuk masuk kerja atau tidak dengan memperoleh gaji penuh.

Persiapan tersebut dilakukan secara berencana, terorganisasi dan terarah bagi masing-masing orang yang akan pensiun. Jika perlu dilakukan assessment untuk menentukan arah minatnya agar tetap memiliki kegiatan yang jelas dan positif. Untuk merencanakan kegiatan setelah pensiun dan memasuki masa lansia dapat dilakukan pelatihan yang sifatnya memantapkan arah minatnya masing-masing. Misalnya cara berwiraswasta, cara membuka usaha sendiri yang sangat banyak jenis dan macamnya.

Model pelatihan hendaknya bersifat praktis dan langsung terlihat hasilnya sehingga menumbuhkan keyakinan pada lansia bahwa disamping pekerjaan yang selama ini ditekuninya, masih ada alternatif lain yang cukup menjanjikan dalam menghadapi masa tua, sehingga lansia tidak membayangkan bahwa setelah pensiun mereka menjadi tidak berguna, menganggur, penghasilan berkurang dan sebagainya.

5. Perubahan Dalam Peran Sosial di Masyarakat

Akibat berkurangnya fungsi indera pendengaran, penglihatan, gerak fisik dan sebagainya maka muncul gangguan fungsional atau bahkan kecacatan pada lansia. Misalnya badannya menjadi bungkuk, pendengaran sangat berkurang, penglihatan kabur dan sebagainya sehingga sering menimbulkan keterasingan. Hal itu sebaiknya dicegah dengan selalu mengajak mereka melakukan aktivitas, selama yang bersangkutan masih sanggup, agar tidak merasa terasing atau diasingkan. Karena jika keterasingan terjadi akan semakin menolak untuk berkomunikasi dengan orang lain dan kdang-kadang terus muncul perilaku regresi seperti mudah menangis, mengurung diri, mengumpulkan barang-barang tak berguna serta merengek-rengek dan menangis bila ketemu orang lain sehingga perilakunya seperti anak kecil.

Dalam menghadapi berbagai permasalahan di atas pada umumnya lansia yang memiliki keluarga bagi orang-orang kita (budaya ketimuran) masih sangat beruntung karena anggota keluarga seperti anak, cucu, cicit, sanak saudara bahkan kerabat umumnya ikut membantu memelihara (care) dengan penuh kesabaran dan pengorbanan. Namun bagi mereka yang tidak punya keluarga atau sanak saudara karena hidup membujang, atau punya pasangan hidup namun tidak punya anak dan pasangannya sudah meninggal, apalagi hidup dalam perantauan sendiri, seringkali menjadi terlantar.

Bimbingan Konseling di Sekolah Menengah

BIMBINGAN KONSELING DI SMA

Tujuan pendidikan menengah acap kali dibiaskan oleh pandangan umum demi mutu keberhasilan akademis seperti persentase lulusan, tingginya nilai Ujian Nasional, atau persentase kelanjutan ke perguruan tinggi negeri. Kenyataan ini sulit dipungkiri, karena secara sekilas tujuan kurikulum menekankan penyiapan peserta didik ( sekolah menengah umum / SMU ) untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi atau penyiapan peserta didik ( sekolah menengah kejuruan / SMK ) agar sanggup memasuki dunia kerja.

Penyiapan peserta didik demi melanjutkan ke pendidikan yang lebih tinggi akan melulu memperhatikan sisi materi pelajaran, agar para lulusannya dapat lolos tes masuk perguruan tinggi. Akibatnya, proses pendidikan di jenjang sekolah menengah akan kehilangan bobot dalam proses pembentukan pribadi. Betapa pembentukan pribadi, pendampingan pribadi, pengasahan nilai - nilai kehidupan ( values ) dan pemeliharaan kepribadian siswa ( cura personalis) terabaikan. Situasi demikian diperparah oleh kerancuan peran di setiap sekolah. Peran konselor dengan lembaga bimbingan konseling ( BK ) direduksi sekadar sebagai polisi sekolah.

Bimbingan konseling yang sebenarnya paling potensial menggarap pemeliharaan pribadi-pribadi, ditempatkan dalam konteks tindakan-tindakan yang menyangkut disipliner siswa. Memanggil, memarahi, menghukum adalah proses klasik yang menjadi label BK di banyak sekolah. Dengan kata lain, BK diposisikan sebagai “musuh” bagi siswa bermasalah atau nakal.

Merujuk pada rumusan Winkel untuk menunjukkan hakikat bimbingan konseling di sekolah yang dapat mendampingi siswa dalam beberapa hal, antara lain :
  • Dalam perkembangan belajar di sekolah (perkembangan akademis). 
  • Mengenal diri sendiri dan mengerti kemungkinan-kemungkinan yang terbuka bagi mereka, sekarang maupun kelak. 
  • Menentukan cita-cita dan tujuan dalam hidupnya, serta menyusun rencana yang tepat untuk mencapai tujuan-tujuan itu. Keempat, mengatasi masalah pribadi yang mengganggu belajar di sekolah dan terlalu mempersukar hubungan dengan orang lain, atau yang mengaburkan cita-cita hidup. Empat peran di atas dapat efektif, jika BK didukung oleh mekanisme struktural di suatu sekolah.
Proses cura personalis di sekolah dapat dimulai dengan menegaskan pemilahan peran yang saling berkomplemen. Bimbingan konseling dengan para konselornya disandingkan dengan bagian kesiswaan. Wakil kepala sekolah bagian kesiswaan dihadirkan untuk mengambil peran disipliner dan hal-hal yang berkait dengan ketertiban serta penegakan tata tertib. Siswa mbolosan, berkelahi, pakaian tidak tertib, bukan lagi konselor yang menegur dan memberi sanksi. Reward dan punishment, pujian dan hukuman adalah dua hal yang mesti ada bersama-sama. Pemilahan peran demikian memungkinkan BK optimal dalam banyak hal yang bersifat reward atau peneguhan. Jika tidak demikian, BK lebih mudah terjebak dalam tindakan hukum-menghukum.

Mendesak untuk diwujudkan, prinsip keseimbangan dalam pendampingan orang-orang muda yang masih dalam tahap pencarian diri. Orang-orang muda di sekolah menengah lazimnya dihadapkan pada celaan, cacian, cercaan, dan segala sumpah-serapah kemarahan jika membuat kekeliruan. Namun, jika melakukan hal-hal yang positif atau kebaikan, kering pujian, sanjungan atau peneguhan. Betapa ketimpangan ini membentuk pribadi-pribadi yang memiliki gambaran diri negatif belaka. Jika seluruh komponen kependidikan di sekolah bertindak sebagai yang menghakimi dan memberikan vonis serta hukuman, maka semakin lengkaplah pembentukan pribadi-pribadi yang tidak seimbang.

BK dapat diposisikan secara tegas untuk mewujudkan prinsip keseimbangan. Lembaga ini menjadi tempat yang aman bagi setiap siswa untuk datang membuka diri tanpa waswas akan privacy-nya. 

Di sana menjadi tempat setiap persoalan diadukan, setiap problem dibantu untuk diuraikan, sekaligus setiap kebanggaan diri diteguhkan. Bahkan orangtua siswa dapat mengambil manfaat dari pelayanan bimbingan di sekolah, sejauh mereka dapat ditolong untuk lebih mengerti akan anak mereka.

Tantangan pertama untuk memulai suatu proses pendampingan pribadi yang ideal justru datang dari faktor -f aktor instrinsik sekolah sendiri. Kepala sekolah kurang tahu apa yang harus mereka perbuat dengan konselor atau guru - guru BK. Ada kekhawatiran bahwa konselor akan memakan “gaji buta”. Akibatnya, konselor mesti disampiri tugas-tugas mengajar keterampilan, sejarah, jaga kantin, mengurus perpustakaan, atau jika tidak demikian hitungan honor atau penggajiannya terus dipersoalkan jumlahnya. Sesama staf pengajar pun mengirikannya dengan tugas-tugas konselor yang dianggapnya penganggur terselubung. Padahal, betapa pendampingan pribadi menuntut proses administratif dalam penanganannya.

BK yang baru dilirik sebelah mata dalam proses pendidikan tampak dari ruangan yang disediakan. Bisa dihitung dengan jari, berapa jumlah sekolah yang mampu (baca: mau!) menyediakan ruang konseling memadai. Tidak jarang dijumpai, ruang BK sekadar bagian dari perpustakaan (yang disekat tirai), atau layaknya ruang sempit di pojok dekat gudang dan toilet. Betapa mendesak untuk dikedepankan peran BK dengan mencoba menempatkan kembali pada posisi dan perannya yang hakiki. Menaruh harapan yang lebih besar pada BK dalam pendampingan pribadi, sekarang ini begitu mendesak, jika mengingat kurikulum dan segala orientasinya tetap saja menjunjung supremasi otak. Untuk memulai mewujudkan semua itu, butuh perubahan paradigma para kepala sekolah menengah dan semua pihak yang terlibat didalam proses kependidikan.