Mendiknas Terima Rapor Merah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Muhammad Nuh mendapatkan penilaian rapor merah dari Koalisi Pendidikan. Program 100 hari dan program aplikasi dari Inpres No 1/2010 yang dilakukan sang menteri dianggap belum menyentuh persoalan substansi untuk guru dan murid.

"Pak Nuh ternyata bukanlah Nabi Nuh. Kebijakannya belum menjawab kebutuhan mendasar pendidikan. Secara umum, rapor Mendiknas masih merah. Nilainya 2,5," ujar Kepala Divisi Monitoring Pelayanan Publik Indonesia Corruption Watch (ICW) Ade Irawan di Wisma Kodel, Kamis (21/10).

Parameter yang dipakai Koalisi Pendidikan dalam penilaian tadi, imbuh Ade, berasal dari program 100 hari dan Inpres Nomor 1/2010 tentang Percepatan Pelaksanaan Prioritas Pembangunan Nasional Tahun 2010. "Kami bukan mengkudeta, tapi ingin beri masukan kritis karena kebijakan Mendiknas banyak yang kontroversial," jelasnya.

Beberapa program andalan Mendiknas, seperti penyediaan internet massal di sekolah, penguatan kemampuan kepala dan pengawas sekolan, pemberian beasiswa perguruan tinggi negeri untuk siswa SMA kurang mampu dan berprestasi. Sementara, percepatan pelaksanaan pembangunan nasional Kemendiknas di antaranya dengan peningkatan sistem manajemen Bantuan Operasional Sekolah (BOS), penyempurnaan kurikulum dan metode pembelajaran aktif, dan sistem penjaminan mutu.

Namun, semua program di atas dianggap tak relevan dengan kebutuhan publik serta guru. Seperti yang diungkapkan Koordinator Kajian Pedagogik dan Transformasi, Lodi Paat. "Tata kelola Kemendiknas masih belum membuka ruang publik memberi masukan dan tak akuntabel. Potensi korupsi pun sangat terbuka lebar," ujarnya.

Masalah lainnya berkaitan dengan akses dan kualitas pendidikan. Kendala mendapat akses, imbuh Lodi, ditandai dengan biaya pendidikan yang mahal. Sehingga yang tak mampu membayar, tidak akan mendapat pelayanan pendidikan. Dari sisi kualitas, indikasinya ditunjukkan oleh kualitas guru yang tak terjamin, sarana belajar mengajar yang terbatas, serta kurikulum yang kaku.

Hal tersebut diakui seorang guru dari Forum Musyawarah Guru Jakarta, Retno Listiarti. Ia merasakan, subtansi dalam kebijakan Kemendiknas tak menyentuh persoalan guru. Justru, hanya guru di daerah terpencil yang disebut dalam dua kebijakan tadi. "Kualitas guru turun karena tak sungguh-sungguh membangun kapasitas guru, LPTK (Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan) harus dibenahi. Masak, tuntutan target UN harus dipenuhi, tapi tak menyentuh guru," tegas Retno.

Retno pun menyinggung sistem perekrutan sumber daya manusia yang tak akuntabel. Seperti pengangkatan kepala sekolah yang tak berdasarkan prestasi kerja. "Ingin jadi kepsek dinilai IP-nya, ilmu pendekatannya. Sehingga sekolah dipimpin orang yang tak punya hati pada pendidikan secara profesional," ungkap dia.

Perwakilan orang tua murid, Jumono menambahkan, beban biaya pendidikan masih dirasakannya. Padahal ada dana BOS yang diharapkan bisa meringankannya. Kuota bantuan 30 persen dari total unit cost pendidikan masih dinilainya belum dipenuhi. Pasalnya, Balitbang Kemendiknas menghitung unit cost biaya pendidikan tingkat SD mencapai Rp 1,7 juta/tahun. Tapi, Depdiknas hanya mengeluarkan Rp 300 ribu. Sedangkan di tingkat SMP dianggarkan Rp 2,7 juta. Tapi,hanya dikucurkan Rp 575 ribu.

Sementara itu, Koalisi Pendidikan menyangkal jika penilaian mereka subyektif.  "Kami tak menyinggung posisi untuk reshuffle. Itu hak Presiden SBY. Kami lebih concern untuk melakukan perbaikan dari tata kelola dan konten kebijakan yang bermakna bagi peningkatan kualitas," tegas Ade.